MEDANHEADLINES – Radar Panca Dhana/RPD dalam tulisannya yang berjudul “Pancasila dan Ketimpangan” mengutip Laporan INFID dan OXFAM yang menempatkan keberhasilan Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi atau kesejahteraan ekonomi pada urutan ke enam negara di dunia. Sebagai fakta, dilapangan ditemukan adanya kekayaan empat orang di Indonesia yang setara dengan 100 juta penduduk miskin. Fakta lainnya ditemukan ada 10 persen orang kaya menguasai 77 persen kekayaan nasional, dimana 23 persen sisanya dibagi kepada 90 persen yang lain (Kompas, 9 Maret 2017, hal.7).
Namun tulisan ini tidak membahasnya dalam sudut pandang ketimpangan, kegagalan pemerintah mengatasi disparitas, dan tidak bekerjanya nilai Pancasila dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang dibahas RPD. Tulisan ini lebih menggambarkan proses terjadinya atau lahirnya orang-orang kaya dalam tampuk ekonomi dan kekuasaan di dunia dan dihubungkan dengan masa depan umat manusia. Kita tahu Marx dan teoritisi ilmu kritis banyak sekali menyediakan landasan berfikir tentang dunia akhir zaman yang dikuasai oleh orang-orang kaya.
Orang Kaya: Pandangan Filosof & Agama
Seneca seorang bijak, penasehat Kaisar Nero yang gagal membimbing Nero mengatakan, manusia memiliki will dimana hanya dia sendiri yang mampu mengontrolnya agar tindakannya menjadi benar menuju keutamaan. Orang kaya atau miskin memiliki kemampuan yang sama dalam mengontrol dalam mewujudkan keutamaannya. Meski tidak sempurna, manusia tidak lantas menyerah sebab keutamaan dalam dirinya sudah ada yaitu menyelaraskan pikiran, perkataan dan perbuatannya (rommelpasopati.worpress.com).
Grotius setuju dengan kaum Stoa bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah milik bersama yang disediakan oleh Tuhan, dimana alam atau dunia ini ada untuk digunakan secara bersama oleh umat manusia. Semua manusia memiliki kepentingan yang sama, untuk menggunakan alam demi kepentingan pribadinya. Adapun cara menjadikan hak milik bersama itu menjadi hak milik pribadi adalah melalui pekerjaan. Karena itu hukum positif/perjanjian dibuat untuk mensahkan hak milik pribadi yang diperoleh melalui kerja seseorang. Oleh Pufendrof teori Grotius dipertajam, dimana setiap manusia harus berupaya mengolah sumber daya alam/SDA itu lebih dahulu, demi kelangsungan hidupnya untuk menghasilkan pakaian, makanan, maupun rumah bagi dirinya.
Demikianlah awalnya manusia mengenal hak milik pribadinya. Berdasarkan hak milik pribadi tersebut yang dihubungkan dengan upaya mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing pribadi itulah maka muncul konflik, sebab manusia akan saling berebut dan mempertahankan. Sehingga untuk mengatasinya dibuatlah kesepakatan bersama.
Menurut John Locke, dia setuju pada asumsi Grotius bahwa Tuhan memberikan alam semesta ini kepada manusia demi kelangsungan hidupnya. Dengan akal/rasio yang diberikan Tuhan itu jualah manusia mempergunakan dunia milik bersama ini sebaik-baiknya demi hidup bahagia. Karena itu manusia memiliki hak yang sama untuk menggunakan sumber-sumber daya alam yang ada disekitarnya untuk hidup. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan manusia adalah kecuali dengan bekerja. Kerja tubuh manusia dan karya tangannya adalah sesuatu yang khas miliknya. Karena itu kerja merupakan hukum dasar yang melegitimasi kepemilikan umum menjadi milik pribadi, dari yang semula ada di alam menjadi ada di kuasa pribadi. Dengan kerja manusia memindahkan benda-benda alam semesta menjadi milik pribadinya.
Nah, dengan demikian tugas pemerintah/negaralah yang menjamin kehidupan, kebebasan, dan hak milik pribadi manusia. Mengapa? Sebab ketika terbentuknya suatu negara, masyarakat sudah menyerahkan seluruh haknya kepada negara, sehingga yang tertinggal hanyalah hak asasi semata. Karena itu peran penguasa (negara) dibatasi menyangkut hak asasi ini. setiap yang melanggar hak asasi wajib diberantas negara. Jadi pemerintah dengan hukum/regulasinya bertugas mencegah konflik dan menjaga keamanan masyarakat terhadap hak miliknya. Dengan demikian terciptalah keamanan dan kesejahteraan bersama.
Orang Kaya: Pandangan Marx & Teoritisi Kapitalisme
Karl Marx bisa dikatakan adalah satu-satunya manusia yang pertama di muka bumi ini yang secara rasional mampu dengan tajam mengungkap keburukan sistem kapitalisme global beserta ancamannya. Marx dengan ketekunannya menyajikan gambaran yang detail bagaimana sistem kapitalisme global pada abad-18 itu sukses menghisap dan memperbudak manusia utamanya kaum pekerja.
Berbagai teori diungkap oleh Marx terkait cara bekerja sistem kapitalisme mulai dari metode penghisapan tenaga manusia (nilai lebih), corak produksi yang mengalienasi manusia, ketamakan akibat kejaran materi, monopoli dan kompetisi, perubahan nilai guna menjadi nilai tukar, hanya materi yang mendorong manusia bekerja, kepastian ledakan pengangguran akibat mesin dan tumbuhnya tenaga kerja baru, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dan perang antar kapitalis yang tiada henti.
Marx menyatakan bahwa sumber dari segala sumber masalah sistem kapitalisme yang menyengsarakan umat manusia adalah berlakunya hak kepemilikan individual. Hal ini berhasil dia ungkap ketika Marx berupaya mencari jawaban dari realitas keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx menemukan sumber ketarasingan manusia adalah pekerjaan, padahal pekerjaan mestinya menjadi sumber manusia menemukan identitasnya. Tetapi sistem kepemilikan pribadi telah menjungkir balikkan makna pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Ketika manusia bekerja ternyata ia tidak menemukan harkat-martabatnya yang mulia selaku manusia, melainkan justru menjadikannya budak upah yang dieksploitasi pemilik modal.
Dengan hak kepemilikan individual maka setiap individu berlomba-lomba untuk menguasai barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya. Dengan hak kepemilikan inilah individu-individu pemilik modal kemudian membuat alat produksinya sendiri secara massal untuk menguasai pasar dengan memperkkerjakan buruh secara massif. Para pemilik modal berlomba-lomba mengejar keuntungan yang besar. Akibatnya struktur sosial terbagi dua yang saling berhadapan yaitu kelas pemilik modal dan kelas buruh.
Marx dengan tegas menolak asumsi Locke tentang kepemilikan. Teori hak kepemilikan pribadi Locke tidak relevan dengan perkembangan umat manusia dewasa ini. Bahkan asumsi Locke yang menyatakan bahwa manusia boleh memiliki dan menikmati sebanyaknya barang yang dapat dimanfaatkan orang demi kebaikan hidupnya sebelum barang itu rusak, jelas-jelas adalah asumsi yang sesat lagi menyesatkan. Masalahnya manusia hari ini tidak lagi bekerja untuk mendapatkan makanan, buah-buahan, air minum dan kayu dari alam semesta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hari ini manusia bekerja untuk mendapatkan uang dan barang lain yang tak habis sekali makan dan rusaknya cepat.
Justru pemikiran yang membenarkan hak kepemilikan pribadi sebanyak-banyaknya asal tidak rusak inilah yang menjadi sumber malapetaka bagi umat manusia dewasa ini. Akumulasi modal oleh orang kaya inilah yang jelas-jelas telah dimanfaatkan oleh segelintir manusia untuk menguasai dan memperbudak manusia lainnya. Teori semakin sadis ketika bertemu dengan manusia yang cacat ataupun yang tua yang sudah tak mampu lagi bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Apakah mereka lebih pantas untuk dieksekusi saja, karena tidak mampu bekerja? (michelaurel.wordpres.com)
Berdasarkan realitas sistem kapitalisme itulah, Marx kemudian fokus pada upaya penghapusan hak milik pribadi ini. Pemikiran Marx yang awalnya bersifat filsafati akhirnya terdorong menjadi pemikiran yang lebih teknis yang bersifat sosiologis dan politik. Upaya menghapus hak kepemilikan pribadi inilah yang menjadi anjuran bagi kaum buruh termasuk partai komunis untuk merebut atau merampas alat produksi dari kaum pemodal melalui jalan revolusi. Pemikiran Marx tentu saja menjadi inspirasi bagi kaum buruh dan partai komunis yang membawa dunia masuk kepada pertarungan kelas di berbagai belahan dunia.
Marx bermimpi bahwa suatu hari sistem komunisme akan tegak, dimana hak kepemilikan pribadi dihapus dan digantikan dengan hak kepemilikan bersama. Hak kepemilikan bersama adalah suatu hal yang menurutnya lebih natural, lebih alamiah, dimana komunisme menjadi naturalisme utuh yang merupakan wujud humanisme. Marx ingin memecahkan teka-teki sejarah yang selalu mendorong manusia bertentangan dengan alam dan bertentangan antara manusia dengan manusia, antara kebebasan dan keniscayaan.
Para teoritisi Kapitalisme Global justru membaca hak kepemilikan pribadi secara terbalik dari apa yang dibaca Marx. Dari empat jenis kepemilikan yang dikatakan Bromley (1989) yaitu milik negara, milik pribadi, milik bersama, dan bukan milik siapa-siapa, hanya milik pribadi yang jelas dapat memuaskan pihak yang mengkonsumsinya. Sementara milik negara, bersama dan bukan siapa-siapa hanya bisa dikonsumsi secara eksklusif. Para teoritisi Kapitalisme telah mendorong sekuat tenaga bahwa aransemen kepemilikan adalah yang paling efisien dalam sistem ekonomi pasar untuk menciptakan tingkat kesejahteraan yang optimum.
Namun menurut Amrtya Sen dan Williams (1982) kesejahteraan dan keadilan melalui landasan hak kepemilikan justru mejauhkan manusia dari kesejahteraan. Sebab kepemilikan yang di dorong atas dasar transaksi sebagaimana yang kita temui di pasar justru penuh dengan manipulasi, ketidak adilan dan tidak ada yang sukarela. Demi kepemilikan kaum pemodal kerap memperlakukan tidak adil masyarakat dan selalu mengabaikan hak asasi manusia.
Penutup
Hukum hak kepemilikan pribadi yang disampaikan Locke (1690) jelas telah membawa derita yang luar biasa bagi umat manusia hari ini, tidak terkecuali di Indonesia. Namun sejauh kita amati, tidak ada satupun pemerintah atau negara yang mampu keluar dari penjara pemikiran atau sistem kapitalisme yang justru ‘mengamankan’ orang-orang kaya. Orang-orang kaya bahkan tidak hanya menguasai alam semesta, melainkan juga menguasai segala perikehidupan masyarakat bangsa dan negara.
Menurut Aristoteles pasca demokrasi yang gagal, suatu saat pemerintahan suatu negara akan dijalankan oleh orang-orang kaya. Sebab hanya orang kaya yang dapat berkuasa dalam sistem politik yang membutuhkan uang yang banyak karena berbiaya mahal. Apa yang diprediksi oleh Aristotels tentu saja sudah nyata dalam konteks demokrasi di seluruh dunia, utamanya di Indonesia saat ini. Mereka yang miskin bisa dipastikan tidak akan mampu masuk kepada sistem politik yang difilter oleh kepemilikan harta yang berlimpah.
Aristoteles mengatakan dalam sistem politik orang kaya (Plutokrasi) kekuasaan (Presdien, Gubernur, Bupati, Walikota) hanyalah pergiliran dari satu orang kaya kepada orang kaya yang lain yang jelas tidak menguntungkan bagi rakyat jelata. Para politisi Autralia bahkan mewanti-mewanti agar mereka tidak mencontoh sistem Politik Republik di Amerika Serikat yang hanya dikuasai oleh orang-orang kaya, yang bahkan belakangan melahirkan Trump sebagai Preseden.
Di Indonesia sendiri orang-orang kaya sudah bersiap-siap masuk dunia politik secara massif, dimana selama ini mereka hanya bertindak untuk mengendalikannya dari luar belaka tanpa camur tangan. Fakta ini semakin kelihatan dari semakin banyaknya para pengusaha yang dengan sengaja “diundang” oleh partai politik untuk masuk ke dunia politik. semakin jelas manakala partai-partai politik pun telah didirikan dan bahkan dibeli oleh orang-orang kaya. Sehingga dapat dipastikan rezim Plutokrasi bukan teori tetpai telah berubah menjadi realitas politik yang massif di Indonesia.
Dengan demikian bisa dipastikan bahwa konsentrasi kekayaan yang berada ditangan segelintir orang kaya di Indonesia jelas tidak akan menjadi pembahasan yang menarik dan strategis di Indonesia apalagi sampai membuat kebijakan yang “keras” untuk memangkasnya. Disparitas yang tampak demikian, tentu saja semakin memantapkan berbagai analisis terkait dengan situasi Indonesia yang memang telah benar-benar krisis ideologis (RDP), darurat keindonesiaan (petisi antropolog) dan benar-benar kondisinya berada di tubir jurang. Dalam al-Quran dikatakan, “dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan, maka sudah sepantasnya berlaku ketentuan kami, kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (al-Isra/16).
Penulis : Dadang Darmawan, M.Si