MEDANHEADLINES – Pendidikan saat ini belum juga menempati posisi yang sentral dalam pembangunan bangsa dan negara yang arif dan sejahtera.padahal jika kita sadari sejak awal Indonesia merdeka tidak saja karena semangat persatuan untuk bebas dari penindasan. tapi juga karena perkembangan ilmu pengetahuan yang di berikan ke pada bangsa Indonesia.
Kekayaan alam Indonesia yang sangat besar ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi Rakyatnya,karena pendidikan yang harusnya mensejahterakan tak kunjung tercapai akibat dikuasai segelintir orang.
Jika dilihat dari sejarahnya, sejak pendidikan tradisional hanya dapat di duduki oleh mereka yang berlatar belakang orang berada, atau bangsawan. Bahkan sejak zaman kerajaan hindu yang mengenal kasta atau klas tidak memperkenankan kasta selain brahmana dan ksatria untuk mempelajari kitab sucinya, para resi yang diagungkan para ksatria mengajar secara terasing di padepokan – padepokan meraka.
Eksklusifitas pendidikan ini terus terjadi walau dengan wajah yang berbeda-beda. baik itu di masa kerjaan budha, islam, ataupun setelah masuknya kolonial belanda, portugis, inggris dan jepang.
pendidikan bagi kelompok berkuasa digunakan bukan untuk mewujudkan tatanan yang arif dan sejahtera. Namun menindas Rakyat yang terus mengalami ketertinggalan kemajuan pengetahuan.
Di era kemerdekaan beberapa tokoh pendidikan dengan semangat pendidikan modern seperti, Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa, KH Ahmad Dahlan di Muhammadiyah, Tan Malaka dengan Sekolah Rakyatnya dan lain sebagainya mencoba untuk merubah wajah pendidikan yang eksklusif itu,namun juga tak berkembang dengan baik akibat Hegemoni ekonomi dan politik yang mendominasi di dunia Pendidikan.
Sudah seharusnya lah pendidikan itu diRakyatkan atau diberikan secara arti luas kepada seluruh rakyat tanpa ada pengasingan. hingga akan melahirkan pengetahuan yang membela nasibnya sendiri. kehidupan atas rakyat dapat diatur oleh rakyat itu sendiri. semua lembaga dan kegiatan jadi wadah mendidik diri dari masing-masing individu sehingga tidak perlu formalitas yang ribet seperti (UN, sertifikasi dan segala tetek bengek yang mengajarkan dan mempraktekkan penghianatan seperti tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme).
Semangat Pendidikan Pasar Bebas
Pendidikan yang di cita-citakan oleh perintis republik ini rupanya akan meghadapi satu batu ganjalan yang begitu besar. Semangat pasar bebas yang di gaungkan penguasa tak dapat dibendung lagi. Hal ini dibuktikan dengan persiapan-persiapan pendidikan berbasis pembangunan industrial dan menghilangkan semangat humanisasi dari pendidikan itu sendiri. Arus ekonomi dan politik yang bernafaskan pasar bebas menjadi satu persoalan bagi pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, segala kebijakan pendidikan mengalami banyak perubahan sejak Pasar Bebas menghinggapi Indonesia mulai masa orde baru. Jika pada masa orde lama pendidikan di siapkan untuk menciptakan manusia yang bermental merdeka dan Revolusioner tidak begitu ketika masa orde baru. Semangat untuk berdaulat di tanah airnya sendiri tidak mengalami frekuensi yang sama pada masa orde baru. Semangat pasar bebas menjadi “Tuhan” baru di era orde baru ini. Masuknya kubu liberalis setelah perang dunia ke 2 membawa semangat Free Marketnya Kapitalisme.sehingga lahirnya regulasi UU penanaman Modal asing No.1 tahun 1967 tanpa batasan terhadap usaha – usaha yang vital sehingga Indonesia menjadi lahan empuk koorporasi global,ditambah lagi dengan kebijakan Suharto yang memasukkan Indonesia dalam agenda GATT (General Agreements of Trade and Tariff) pada tahun 1994. Yang bertransformasi menjadi WTO.
Sejak saat itulah seluruh sendi Ekonomi dan Politik Indonesia mulai bergeser ke arah Liberalisasi atau pada masa orde baru yang terkenal dengan Istilah Swastanisasi.
Hal di atas perlu disampaikan dalam tulisan ini sebagai pijakan pemikiran tulisan ini dalam menganalisa kondisi pendidikan yang telah menggeser makna penting pendidikan yang dapat menjemput Rakyat yang arif dan sejahtera. Sehingga kita dapat melihat bagaimana pendidikan dimanfaatkan oleh kelompok dan kelas berkuasa untuk mendapatkan tujuan mereka.
Runtuhnya semangat pendidikan Bangsa
Hadirnya Swastanisasi membuat Semangat Pendidikan yang asli dari perintis Republik ini kian jauh dari harapan mereka. Jika Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, KH Ahmad Dahlan serta tokoh pendidikan lainnya memulai pendidikan Rakyat secara jujur dan wajar,namun tidak begitu dalam perkembangannya ketika di kuasai oleh kelompok Semangat Pasar Bebas.
Pada masa orde lama dari 1945 hingga 1966 pendidikan masih dipakai oleh sukarno untuk mendukung semangat revolusi kemerdekaan. Sehingga kondisi ekonomi yang masih merangkak membutuhkan sumber daya manusia yang berilmu pengetahuan dalam menunjang kondisi ekonomi tesebut, sehingga hasil kerja sama politik di manfaatkan untuk mengambil ilmu pengetahuan dari barat yang di praktekkan dengan mengirim pelajar-pelajar keluar negeri seperti, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina dan negara lain yang mempunyai hubungan baik dengan Indonesia.
Sementara Di masa Orde Baru, pendidikan digunakan untuk menyukseskan agenda Developmentalisme yang menggenjot pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Mulai dari 1967 sampai 1999 pendidikan dimanfaatkan untuk indoktrinasi semangat pasar bebas, intervensi militer dengan dwi fungsi ABRI cukup signifikan mempengaruhi pemerintah dan terkhusus kementerian Pendidikan. Munculnya gerakan yang meminta mundur sukarno tidak terlepas dari bagaimana militer menyetir pendidikan yang akhirnya melahirkan kesatuan-kesatuan aksi yang di pelopori oleh mahasiswa, pelajar dan pemuda untuk mengahncurkan sisa-sisa paham komunisme dengan memberangus organisasi, atibut dan kader-kadernya.
Pada fase selanjuta Proyek P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) dijadikan cara indoktrinasi terhdap semangat Pasar Bebas nan liberal yang kemudian mampu menjadikan pendidikan gaya kerajaan yang anti-kritik sehingga jauh dari kata ilmiah, obyektif dan berkesinambungan. Pada tahun 1978 gerakan mahasiswa yang saat itu jadi corong kritik pendidikan Indonesia dihadapkan pada sikap anti demokratik yang menelurkan kebijakan NKK/BKK ( Normalisasi kehidupan kampus/Badan Koordinasi Kampus) yang menghilangkan suara mahasiswa dengan menghapus dewan mahasiswa yang akhirnya mahasiswa dikungkung suaranya. Sedangkan pendidikan dasar dan menengah masih terus di cekoki oleh doktrin P4. Pendidikan yang kehilangan independensinya mulai di komersilkan Sejak 1999, dengan dikeluarkannya PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus dengan Pilot projeknya adalah UI, ITB, IPB, dan UGM.
Pada fase ini kita lihat pendidikan di stir untuk kepentingan pembangunan ala barat yang menjunjung tinggi azas free marketnya Adam Smith. Sedari awal pendidikan saat ini tidak mengajarkan bagaimana memahami fungsi pendidikan sebenarnya. Sehingga kaum terpelajarnya hanya mereka yang lahir dari rahim pendidikan barat
Perubahan dari Orde Baru ke Reformasi juga ternyata tidak terlalu mendapat tempat bagi dunia pendidikan sesungguhnya di indonesia. Di era Presiden Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko widodo sama sekali sifat pendidikan tidak menyentuh arti sebenarnya. Misalkan beberapa kebijakan yang lahir berurutan di masa pemimpin-pemimpin ini mulai dari UU Sisdidiknas No.20 tahun 2003, UU BHP No.9 tahun 2008, UU PT No.12 tahun 2012 dan berbagai UU dan Peraturan lainnya yang dilahirkan untuk menunjang pendidikan yang berkesesuaian dengan kondisi global saat ini.
Pendidikan yang menjadi satu pondasi utama dalam rangka pembangunan tidak lagi menjadi ajang mencerdaskan kehidupan bangsa padahal defenisi pendidikan dalam Regulasi Indonesia (UU Sisdiknas dan UU PT) menyebutkan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, Rakyat, bangsa dan negara.
Ideologi pendidikan saat ini
Secara jelas dalam konstitusi bahwa pendidikan adalah kepentingan bangsa Indonesia yang harus memberikan akses yang luas dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun, kenyataannya kapitalisasi pendidikan menjadi satu ideologi pendidikan di Indonesia. Tingginya biaya pendidikan Indonesia membuat kastanisasi pendidikan di Indonesia, mulai dari Negeri dan Swasta, Pendidikan lokal, nasional dan Internasional yang semuanya memiliki label harga yang jelas seakan menjadi manifestasi kualitas pendidikan itu sendiri, hingga kebutaan Rakyat atas azas pendidikan yang hakiki memudar
Secara umum pemahaman Pendidikan yang mahal adalah pendidikan yang berkualitas menjadi pola umum fikiran rakyat Indonesia. Kesesatan fikir ini adalah buah dari pendidikan yang secara sistematis membangun kesadaran yang komersil. Hingga konsep Student Loan atau Hutang Siswa dalam menjalani pendidikan masuk dalam UU Perguruan Tinggi yang dianggap akan menyelesaikan persoalan biaya pendidikan. Dan lagi-lagi konsepsi barat atas pendidikan dijadikan dalil untuk memaksakan perampasan hak pendidikan dari tiap-tiap individu rakyat Indonesia.
Berbicara pendidikan dengan menafikan kemajuan pengetahuan adalah satu hal yang mustahil dan sesat. Karena pengetahuan yang lahir di Indonesia tidak diimbang untuk menciptakan teori, konsep dan temuan-temuan yang teruji secara benar dan ilmiah. Pendidikan yang dijalankan secara komersialistik menghantarkan pendidikan Indonesia kepada pemahaman pengetahuan yang Baratsentris semua pengetahuan di adopsi tanpa kritik dan uji coba yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ukuran sederhana saja hampir ribuan sarjana yang lulus dari perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu namun pemahaman masih memakai disiplin ilmu bawaan Belanda yang Baratsentris mulai dari disiplin ilmu alam dan displin ilmu sosial. Tidaklah ada satu kemajuan yang berarti dari produksi rakyat Indonesia dari bantuan pengetahuan 70 tahun pendidikan Indonesia. Mulai dari konsep hukum, konsep ekonomi, konsep budaya, dan lain sebagainya berpusat pada pemahaman pengetahuan barat
Selain itu corak demokratis dalam pendidikan juga tidak berjalan sebagai mana demokratis pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang sudah terdesign sedemikian rupa untuk kemajuan ekonomi ala pasar bebas mengkebiri kebebasan berfikir atas konsepsi alternatif. Gaya pendidikan yang hanya berfokus pada pemenuhan tenaga produktif yang tidak memproduksi untuk dirinya sendiri adalah hal kongkrit upaya robotisasi manusia Indonesia. Pendidikan yang tidak boleh bertentangan dengan pengetahuan barat adalah gaya kuno pendidikan yang anti demokrasi. Kebebasan akademis hanya di kurung dalam pemahaman tulisan dan usaha kreatif yang di sandarkan pada kepentingan ekonomi pasar bebas. Dan kreatifitas itu di susun sedemikian rupa dengan kebijakan yang diambil sepihak oleh fasilitator pendidikan tanpa alternatif atas ide, bakat dan kemampuan siswa ataupun mahasiswa di Indonesia. Maka semakin terpuruklah pengetahuan di Indonesia yang di padang kaca mata kuda buatan barat
Begitu pula dengan orientasi pendidikan itu sendiri yang jauh dari kebutuhan rakyat. Pendidikan yang di laksanakan adalah pendidikan yang menjunjung tinggi azas liberlisme barat yang kebablasan, alhasil fikiran dan pengetahuan tidak lagi bagi kebutuhan dan kondisi rakyat itu sendiri. Tidak ada pendekatan dan pengetahuan yang secara tegas memposisikan diri untuk membela rakyat banyak. Keberpihakan yang labil atas pengetahuan itu sendiri menjadikan pengetahuan itu sendiri tidak memiliki peran apa-apa dalam pembangunan manusia dan kesadaran rakyatnya. Hingga akhirnya pendidikan menjadi kacung paling setia dalam periodesasi pasar bebas saat ini.
Nyatalah bagaimana pendidikan secara normatif hanya melahirkan para cendikiawan dan bukan intelektual. Filsuf iran Ali Syariati (Ali Syariati : Ideologi Kaum Intelektual) meninjau bahwa Sifat ilmuwan yang hanya menemukan fakta dari yang terlihat dari luar dan berusaha memposisikan dirinya sebagai insan yang netral tanpa harus melibatkan dirinya pada satu ideologi tertentu. Sifat rausyanfikr yang menndefenisikan intelektual adalah pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Intelektual ini lahir bukan karena pendidikan formal namun mereka adalah insan yang sadar untuk memperbaiki Rakyat yang ada. Untuk dapat menjemput pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa tidak bisa tidak harus menggeser pendidikan saatini menjadi pendidikan sosial yang menjadi tanggung jawab bersama rakyat dan pemerintah tanpa kepemilikan mayoritas atas pendidikan itu sendiri. Hingga menjadi satu persoalan bersama ketika buruh bermasalah ada persoalan pendidikan disitu, ketika petani bermasalah adalah persoalan pendidikan didalamnya, ketika para pedagang, seniman, sopir, dan profesi lainnya bermasalah di sadarai bahwa ada persoalan pendidikan dalam setiap urat persolan itu. Maka pendidikan haruslah bermilik ideologi yang jelas dan keberpihakan yang jelas. Hingga dapat dipahami bahwa hanya dengan menwujudkan pendidikan yang Gratis, Ilmiah, Demokratis dan bervisi Kerakyatan secara keseluruhan dan utuh Pengetahuan di Indonesia akan menuju kemajuannya.
Penulis : moeslim Silaen
Kordinator Departemen Organisasi dan Jaringan SMI Nasional (periode 2016-2018)