MEDANHEADLINES – Wiji Thukul, aktifis 98 yang “dihilangkan” rezim penguasa orde baru kini seolah hadir kembali ditengah kita. Mesti sosoknya sudah lama “hilang” namun dengan menonton kisah hidupnya yang telah di-filmkan dan tengah diputar di seluruh bioskop di tanah air. Kita serasa menyaksikan sosok dan kehidupan alami ala kadarnya namun kaya “magis” kehidupan seorang jalanan yang mealwan rezim hingga menjelang “dihilangkan”nya. Setidaknya dengan mononton filmnya cukuplah mengobati rindu akan “perlawanan” kata-katanya dan tusukan semangatnya yang kembali mendesir dalam tulang rusuk kita.
Wiji Thukul adalah seorang sastrawan dan aktivis yang dilahirkan di sorogenen solo pada tanggal 26 agustus 1963 dan menghilang pada tahun 1998 karena penculikan oleh tim mawar kopasus, ia adalah salah satu aktivis yang di culik dari 13 korban penculikan pada tahun 1998 dan sampai saat inipun tidak diketahui kepastian dimana keberadaanya , kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998, sejak itulah dia mulai berpindah-pindah keluar masuk kampung kota untuk bersembunyi menghilangkan jejak dari kejaran aparat, dalam pelarianya itu Wiji Tukul tetap saja menulis puisi-puisi yang pro-demokrasi yang dimana salah satunya berjudul para jendral marah-marah (http://giribig.com/).
Wiji mungkin mewakili sedikit seniman jalanan yang jauh dari hingar-bingar dunia pertunjukan yang kerap tanpa malu menukarkan segala cipta rasa dan karsa sekedar menjadi tontonan demi menghasilkan lembar-lembar rupiah. Puisinya tidak dibuat atas pesanan pengusaha apalagi penguasa, terlebih mengikuti selera pasar. Ia menuliskan dan merangkaikan kata-katanya sebagai bahagian dari keikutsertaannya yang nyata dalam kontribusi melawan rezim penindas dan otoriter orde baru.
Wiji jauh dari hingar bingar budayawan yang selalu konflik dengan pemerintah hanya untuk mendapatkan gedung kesenian yang representatif dan selalu bernafsu mendapat anggaran yang besar dari DPRD. Wiji bukan sosok yang selalu berkarya dengan segudang cerita namun lepas dari realitas sosial yang ada. Dia berbahasa bukan bahasa fatamorgana, sekedar mimpi yang justru lari terbirit-birit ketika rezim dengan congkak menyerbu, mengintai, dan memberangusnya. Dia bukan ingusan untuk soal harga diri.
Namun, Wiji lahir di jalanan, mengubah seluruh semesta raya menjadi gedung pertunjukannya. Menjadikan semesta alam menjadi saksi akan bahasa yang ingin disampaikannya. Tanpa embel-embel material dan simbol-simbol yang mesti menyertai langkahnya sebagai seorang aktifis. Uang tentu saja perlu untuk membelikan celana pendek buat istrinya sebagai hadiah dari pelariannya di Pontianak. Namun uang tidak mengubah apapun yang essensial dari jatidirinya. Ia jelas menguasai materi bukan dikuasai. Untuk berbahasa tak perlu dana DPRD!
Minim Apresiasi
Sayang seribu malang, sebagaimana yang dituturkan Wina, penggagas film ini agar diputar di Kota Medan, film ini minim apresiasi di Medan. Hanya setengah dari jumlah kursi yang disediakan terisi. Hanya sedikit orang yang mampu beranjak dan beringsut dari tempat duduknya yang nyaman. Miris tak dapat ditolak dan menjadi fakta. Anak muda banyak yang tak kenal Wiji sementara teman-teman Wiji sudah tak mengenal kata-kata dan semangatnya lagi. semua tenggelam dalam hingar-bingar dunia yang selalu berkutat dalam pencarian sesuap dan seperiuk nasi.
Atau jangan-jangan kita juga terlalu “mentel” atau “terhanyut melo” berharap apresiasi pada kota yang dibesarkan dengan konsep “gangster” ini. Kota dimana seluruh hubungan manusia berakhir dengan “uang tunai”. Kota dimana untuk mendapatkan sesuap nasi mesti berkelahi. Semboyannya tegas, “direbut pun tak dapat konon lagi tak direbut”. Kota yang sudah lama mengistirahatkan dan mencampakkan nilai-nilai luhur dengan kemuliaannya. Kota yang hanya dipenuhi logika jual-beli, demi motif, dan bagi-bagi kekuasaan melulu. Tapi sudahlah tak perlu sedu sedan itu. Tak ada yang perlu ditangisi, dunia terus berputar, roda kehidupan tak berhenti.
Istirahatlah Kata-Kata
Sebagaimana komentar mereka yang telah menonton, tentu banyak intrepretasi akan film ini. Semua intrepretasi tentu berhubung kait dengan pengalaman sang intrepreter. Yang jelas film ini menyampaikan gambaran tegas, tentang “buasnya” rezim orde baru, yang selalu “menghabisi” mereka yang berlawanan dengannya. Tak ada ampun bagi siapapun lawan orde baru. Semuanya mesti tunduk dibawah aturan suka atau tidak.
Semua kritik mesti dibungkam dan diberangus. Karena itu semua tempat adalah tempat intaian. Semua orang bisa di-intelin. “aku takut, selama kau pergi, intel-intel selalu datang mondar-mandir mencarimu, mereka juga ambil buku-buku mu”, kata istri Wiji Tukhul. Sepeninggal Wiji istrinya terus berada dalam tekanan fisik dan mental rezim tanpa ampun. Tak ada hidup tanpa intaian para intel yang disebar dipelosok desa. Mereka menyita buku-buku, sebab mereka yakin buku-buku itu seperti senjata. Mereka tidak lagi melihat buku sebagai buku, tapi para rezim melihat buku telah berubah sebagai senjata yang mematikan.
Bandingkan dengan ribuan pustaka di seluruh dunia saat ini yang tak mampu merubah dunia sedikitpun. Sebab semua pustaka tak lebih adalah pesanan pemikiran dari rezim penguasa global. Buku kehilangan makna karena hanya lahir dari pemikiran mekanis. Buku tak lagi berupa suara alam yang mampu memberi pesan “prophetik” kepada seluruh mahluk semesta. Buku semakin bertambah namun alam dan moral manusia semakin rusak. Buku ternyata tak lagi menjadi suara alam melainkan menjadi suara “horor” yang menakutkan.
Aneh, rezim bersenjata takut dengan kata-kata, hanya kata-kata. Kata-kata yang sebetulnya sangat sedrhana dan berserakan dimana-dimana dan menurut semua orang tak menarik, ternyata mampu dipungut Wiji, dipintal dan dijait menjadi senjata penggerak massal mengalahkan senjata pemusnah massal. Kata yang sederhana ditempel-tempel di dinding benak semua aktifis menghidupkan gairah perlawanan terhadap rezim. Ternyata Wiji bukan sedang berpuisi, ternyata ia sedang melawan rezim. Meski ia “dihilangkan” namun kata-katanya tak pernah benar-benar istirahat.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Sejarah adalah hasil dari pertarungan antagonis yang tak pernah berakhir kata Marx. Sejarah akan berakhir hanya ketika menyatunya kehendak pikiran, tindakan dengan kehendak absolut (manunggaling) kata Hegel. Manusia masih berada di atas panggung sejarah. Cakar-cakaran dan perebutan masih terus terjadi tanpa istirahat. Jadi kata-kata pun tak ada yang benar-benar istirahat, sebab ia terus menerus akan bergulir menuju muaranya…. semua rezim penindas pasti akan mendapatkan perlawanan. Semua ketidak adilan akan berakhir dengan peperangan. Adalah hukum besi sejarah jika dunia manusia yang penuh dendam akan senantiasa berisik dan beringas melahirkan penindasan dan perlawanan antara yang satu dengan yang lainnya.
Penulis : Dadang Dermawan
Dosen Fisip USU