MEDANHEADLINES, – Ancaman Perang Dunia III sebagaimana yang banyak disinggung pengamat terkait ekskalasi ketegangan Rusia (Blok Timur) dan Amerika (Blok Barat) akhir-akhir ini bukanlah sekedar isu isapan jempol. Penelitian sepuluh tahun Profesor Choosudovsky (Profesor Ekonomika di Universitas Ottawa-Kanada) dalam bukunya (2011) ‘Skenario Perang Dunia III’ yang berisi tentang doktrin penguasaan militer Amerika-Nato-Israel terhadap teritori global melalui skenario PD III jelas masih berlaku hingga kini.
Namun penelitian pasca keruntuhan Uni Soviet itu hanya melihat skenario PD III dari sisi Barat semata. Tesis Choosudovsky beranjak dari Superioritas Barat yang sendirian untuk mengatur tata dunia global melalui skenario perang di bebagai belahan dunia untuk memeprebutkan sumber daya alam dunia. Kelemahan tesis Choosudovsky saat itu sama sekali tidak menyinggung bangkitnya kekuatan militer Rusia dengan memimpin negara-negara yang anti Barat dalam menahan laju pergerakan militer Amerika-Nato-Israel.
Tak ada yang menyangka jika konflik Rusia-Ukraina telah menyulut kemarahan negara ‘Beruang Merah’ tersebut terhadap Barat dengan mencaplok (menganeksasi) semenanjung Crimea dan mengobarkan perang di dalam negeri Ukraina. Tindakan Rusia menganeksasi semenanjung Crimea inilah yang kemudian menyulut solidaritas negara-negara Eropa Barat untuk membantu Ukraina dengan mengembargo ekonomi Rusia. Namun, sayang bukan malah kendor, malah Rusia semakin membalas tindakan Eropa Barat dengan semakin melebarkan sayap militernya membantu negara-negara yang sedang ditindas Barat. Rusia dengan cepat melibatkan diri dalam konflik Suriah membantu Suriah menghancurkan pemberontak dukungan Barat sekaligus mengenyahkan ISIS dari Suriah. Rusia juga dengan cepat membangun kesepakatan dengan Iran, Irak, Libya untuk saling membantu di berbagai bidang.
Reaksi militeristik Rusia di Ukraina maupun Suriah dalam menghadapi rejim-rejim dukungan militer Barat tanpa disangka ternyata telah dinanti-nanti negara-negara yang selama ini menjadi bulan-bulanan kebijakan Amerika-Nato-Israel. Banyak negara yang selama ini ditindas oleh kebijakan Barat seolah kini memiliki tempat untuk ‘mengadu’. Pasca keruntuhan Uni Soviet dan Blok Timur (Pakta Warsawa), sudah puluhan tahun dunia disetir oleh Hegemoni Barat tanpa saingan yang memadai seperti era perang dingin kemarin.
Pasca kehancuan Uni Soviet, Amerika dan sekutu Baratnya langsung menyuntikkan virus liberalisme dosis tinggi kepada pemimpin dan negara eks Uni Soviet. Banyak pecahan Uni Soviet yang tidak lain mantan anggota Pakta Warsawa kemudian beralih ke anggotaan menjadi bagian dari sekutu Barat (menjadi anggota Pakta Atlantik Utara/NATO). Rusia selaku tulang punggung ex-Uni Soviet sekaligus sebagai pimpinan Pakta Warsawa benar-benar takluk tak berdaya. Bahkan Rusia sendiripun harus berjuang sengit untuk menghidupi ekonomi maupun menyehatkan politik negaranya sendiri. Tak ada waktu untuk memikirkan negara-negara lain. Kondisi Rusia yang lemah selama puluhan tahun inilah yang dimanfaatkan Amerika-Nato-Israel untuk menyusun agenda penguasaan teritorial global demi melestarikan kepentingan jangka panjang mereka. Amerika-Nato-Israel dengan cepat menyusun tatakelola global (ekopolbud) dibawah nilai-nilai Liberal-Kapital dengan tetap mengandalkan kekuatan militer pada saat dibutuhkan. Opsi perang dan hancur-lebur tentu saja masih menjadi opsi utama dalam membantu penguasaan global.
Bagi Amerika-Nato-Israel tatakelola dunia adalah upaya untuk memastikan bahwa sumber-sumber alam dunia ada dibawah penguasaan mereka. Amerika-Nato-Israel sadar bahwa mereka membutuhkan minyak bumi, barang tambang yang sangat banyak yang tidak dimiliki mereka. Amerika-Nato-Israel sadar bahwa kekayaan minyak dan barang tambang lainnya ada dinegara-negara lain terutama di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim (Choosudovsky, 2011). Karena itu tidak ada cara lain untuk menguasai ladang-ladang minyak dan barang tambang tersebut selain dengan menggunakan bantuan militer.
Pasca rubuhnya Uni Soviet, trio Amerika-Nato-Israel tidak memandang adanya pesaing yang serius dalam memperebutkan sumber-sumber daya alam dunia. Amerika-Nato-Israel kurang memperhitungkan kebutuhan dan kekuataan Rusia & China yang telah dianggap ‘lumpuh’ dan ‘tidak berdaya’. Karena itu tantangan untuk memperebutkan sumber daya alam (minyak dan logam, dan lainnya) hanyalah rezim-rezim yang berkuasa di negara-negara Islam khususnya yang menguasai sumber-sumber minyak bumi yang signifikan seperti Irak, Iran, Yaman, Libya maupun Nigeria. Tidak kurang dari 70% cadangan minyak dunia ada dinegara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam (Chossudovsky, 2011). Tidak heran jika label teroris seketika menjadi viral di dunia untuk mensasar rejim maupun kelompok radikal yang tidak setuju rencana Amerika-Nato-Israel dalam penguasaan sumber-sumber minyak dan alam dunia.
Satu alasan terpenting yang menjadi tiket bagi Amerika-Nato-Israel untuk masuk ke setiap negara Islam apalagi kalau bukan peristiwa 9/11 2001 yaitu peristiwa serangan gedung WTC New York oleh dua pesawat komersil boeing 747 yang menewaskan 2.996 jiwa. Peristiwa inilah yang di dramatisir dan ditengarai sebagai peristiwa pembunuhan nilai-nilai kemanusiaan yang paling terhebat di muka bumi ini pada era modern. Peristiwa inilah yang dianggap sebagai peristiwa paling keji dan biadab yang hanya sanggup dilakukan oleh manusia teoris yang kejam sehingga para teroris tersebut wajib diburu dimanapun berada. Amerika kemudian dengan cepat mendakwa bahwa teroris Islamlah sebagai pelakunya. Dibawah simpati, mandat dan dukungan komunitas internasional itulah kemudian trio Amerika-Nato-Israel mensasar sarang-sarang teorisme Islam di negara manapun ia bersembunyi, dengan tujuan utamanya adalah mengendalikan sumber-sumber alam dan energi dunia sebagaimana yang disinyalir Choosudovsky (2011).
Kembalinya Rusia
Namun cerita superioritas Amerika dan sekutu yang ingin tampil sebagai penguasa tunggal panggung global tampaknya kini mulai mendapat tantangan yang signifikan. Tidak hanya dari China (ekonomi) namun juga dari Rusia (militer). Rusia kini tampil mengejutkan Barat. Gerakannya seperti setan, bergentayangan, tak kelihatan tapi menjadi momok menakutkan. Seorang pejabat Inggris tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia mengatakan bahwa Barat wajib waspada dengan kemampuan militer Rusia yang telah memodernisasi peralatan militernya. Barat melihat bahwa diam-diam Rusia dibawah Putin telah kembali memompa semangat nasionalis rakyat Rusia yang selama ini inferior dibawah bayang-bayang Barat.
Bagi Putin sendiri, sudah saatnya Rusia bangkit menentang perlakuan negara-negara Barat yang tidak simpatik diseluruh bidang. Rusia memang saatnya mesti bangkit menentang kesewenangan Barat yang mengepung Rusia melalui kerjasama dengan negara-negara eks-Uni Soviet melalui pendekatan ekonomi maupun militer. Rusia bangkit ditengah Barat yang sudah hampir tidak lagi menghitung Rusia sebagai kekuatan Global dengan seenaknya melakukan tata dunia Global yang sangat diskriminatif. Pesannya kepada Barat cukup jelas dengan menganeksasi Semenanjung Crimea (Ukraina), membantu orang-orang Rusia di Ukraina, melawan embargo Barat dengan embargo, menghentikan ekspor plutonium, menjalin poros Rusia-Iran-Irak-Suriah pada medan tempur Timur Tengah menghadapi Barat, membangun peralatan militer canggih melampaui kecanggihan alat militer Barat, dan mengancam kepentingan Barat dimanapun serta mempersiapkan perang semesta melawan Barat.
Jelas ancaman dari negara super power seperti Rusia tidak bisa dianggap remeh oleh Barat. Bagi barat melihat apa yang dimiliki militer Rusia jelas sebanding dengan apa yang dimiliki Barat saat ini. Dengan kehadiran Rusia, jelas geo-politik global tentu saja akan semakin dinamik. Barat yakin akan ada banyak negara yang memang mengimpikan kehadiran kekuataan penyeimbang selain Barat. Jelas Rusia pasti akan mendapatkan suntikan moril dari sekutu-sekutu barunya diberbagai belahan dunia. Inilah yang ditakutkan Barat ketika dunia global yang mereka kuasai harus berbagi kembali yang lambat laun akan mematikan ruh Liberalisme global.
Indonesia & Percaturan Global
Posisi Indonesia jelas sangat strategik ditengah isu perebutan sumber daya alam dunia oleh negara-negara super power baik di Timur (China/Rusia) maupun di Barat (Amerika-Nato-Israel). Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan setelah minyak Timur Tengah yang diperebutkan, giliran berikutnya adalah sumber daya alam hayati yang salah satu kekayaanannya tersimpan di Indonesia. Tanpa pemahaman dan membaca akan situasi dan kondisi global yang sedang berkembang saat ini jelas Indonesia akan ketinggalan isu dan kesiapan untuk menghadapinya.
Posisi Indonesia saat ini jelas sedang berada pada kondisi pelemahan yang luar biasa. Secara internal Indonesia telah kehilangan identitas Pancasilanya selaku falsafah dan sumber hukum dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara ideologi Indonesia secara tidak langsung sudah ‘meliberalisasi’ pandangan masyarakatnya sendiri dan mematikan nilai-nilai Pancasilanya sendiri. Kini sebagaimana yang disinggung Panglima TNI sejumlah alarm bahaya sudah tiba dan bersemayam dalam tubuh bangsa Indonesia.
Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa bahaya ancaman intervensi teritorial kekuatan Kuning (China) sudah sampai di Natuna, juga bahaya intervensi Barat (AS) yang sudah sampai di Darwin (Australia), juga yang paling luar biasa adalah intervensi berbagai negara ke Indonesia melalui Perang Candu/Narkoba dimana Candu/Narkoba tersebut pun telah menjadi konsumsi yang diminati anak-anak Indonesia. Intinya, bahaya-bahaya tersebut sudah bersenyawa aktif dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini.
Tidak berhenti disitu, satu bahaya yang lebih jelas lagi adalah terjadinya konflik elite politik dalam memperebutkan kekuasaan yang tidak ada habisnya. Inilah kondisi terkini yang terjadi ditengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang berada pada ancaman global serius terkait persaingan global dalam memperebutkan sumber-sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia di muka bumi. Anehnya entah sadar atau tidak, ditengah kekayaan yang melimpah tersebut kita pula yang asyik merusak dan menjualnya kepada asing. Pertanyaan besarnya adalah, apakah alarm bahaya yang disampaikan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo tersebut telah menjadi viral di dalam kesadaran para petinggi bangsa saat ini?
penulis : Dadang Darmawan, M.Si