Anak-anak di wilayah konflik [DW]
MEDANHEADLINES.COM – Sebanyak 130 orang dibantai di Burkina Faso oleh sekelompok bocah berusia belasan tahun pada awal Juni silam, lapor PBB. Tragedi itu adalah bukti teranyar maraknya keterlibatan anak-anak dalam beragam konflik di dunia.
Anak-anak di kawasan konflik lebih dulu belajar melakukan kejahatan kemanusiaan, sebelum bisa menghitung. Kesimpulan muram itu disampaikan Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfeld, di hadapan Dewan Keamanan PBB, Senin (28/6), antara lain dengan merujuk kepada kasus di Burkina Faso.
Dalam tragedi itu, pelaku “rata-rata berusia antara 12 hingga 14 tahun,” kata Linda.
Mereka menyerbu sebuah desa di kawasan Sahel, dan melakoni adegan horor, di mana “bocah membunuh bocah, anak-anak membantai anak-anak.”
Selama masa dinasnya sebagai diplomat konflik, Linda mengaku telah sering bertemu korban perang, tapi pengalaman anak-anaklah yang “paling membuat patah hati.”
“Anak-anak akan menceritakan sesuatu yang tidak seharusnya dialami seorang bocah, entah itu ditodong senjata, diperkosa, dipaksa membunuh saudara sendiri, orang tua sendiri,” kisahnya.
Seringkali, “anak-anak ini belum setinggi senapan yang mereka bopong.”
Meski melakukan kejahatan kemanusiaan, serdadu anak-anak tetap digolongkan sebagai korban perang.
Dan dalam hal ini, “kita belum berbuat cukup,” bahkan 25 tahun setelah PBB membentuk badan yang fokus mengurusi anak korban perang, kata Linda.
Bocah di daerah konflik “tantangan terbesar” bagi dunia
Sepanjang tahun 2020, PBB mencatat 24.000 kasus pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, penyanderaan, pemerkosaan atau perekrutan serdadu anak di seluruh dunia. Korbannya berjumlah 19.300 anak-anak di 21 wilayah konflik.
Angka korban terutama mencuat di empat negara, yakni Afghanistan, Suriah, Yaman dan Somalia. Di sana sebanyak 8,400 anak-anak dilaporkan tewas atau mengalami cacat akibat perang.
Adapun 7.000 anak-anak di dunia saat ini dipaksa berperang di Kongo, Somalia, Suriah dan Myanmar, lapor PBB.
Tahun lalu, angka kejahatan pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual lain melonjak 70 persen dibandingkan 2019.
Sementara kasus penculikan meningkat 90% pada periode yang sama. PBB mencatat, serangan berdarah terhadap sekolah atau rumah sakit “masih terlalu sering terjadi.”
Henrietta Fore, Direktur UNICEF, mengatakan laporan itu menggarisbawahi kerusakan jangka panjang yang dialami anak-anak korban perang.
Menurutnya, konflik saat ini berdurasi lebih lama, semakin rumit dan berdarah. “Rata-rata dalam lima tahun terkahir, setiap hari PBB memverifikasi setidaknya 70 anak-anak yang mengalami pelanggaran HAM berat,” kata dia.
Pertemuan DK PBB yang kali ini dikepalai Estonia menitikberatkan agenda pada dampak perang terhadap anak-anak di Yaman, pembunuhan anak-anak oleh junta militer di Myanmar dan pembantaian terhadap 150 anak-anak di Afghanistan selama tiga bulan pertama pada 2021.
Laporan yang disusun kantor sekretaris jendral PBB itu menyebutkan bocah perempuan “mewakili 98% korban kekerasan seksual,” kata Presiden Estrtonia, Kersti Kaljulaid.
Menurutnya, fenomena ini “merupakan tantangan terbesar yang akan kita hadapi di dekade ke depan,” dan wabah corona hanya memperburuk situasi kaum perempuan dan anak-anak di dunia. rzn/hp (Red/suara.com)