MEDANHEADLINES.COM – Andaikan Pilgubsu 2018 kita lihat sebagai teks yang tak tertulis, bagaimanakah kita membacanya secara tepat? Para pemikir post-modernisme (post-mo) pasti akan menjawab, hey…tidak ada satu carapun yang dapat digunakan untuk membaca Pilgubsu 2018 dengan tepat! Persetan dengan analisis akademisi, analisis politisi, analisis kandidat, analisis media, analisis pemuka masyarakat, analisis aparat, analisis warkop, analisis café, atau analisis siapapun. Siapapun kita, pasti akan memiliki sudut pandang dan kesimpulan yang berbeda-beda dan semua itu bukan suatu kesalahan, dan semua itu benar.
Para pemikir post-mo sudah muak dengan pemikiran dua kutub positivis yang bertentangan satu dengan yang lain, dimana kutub yang satu benar dan kutub yang lain salah (oposisi biner). Sudut pandang tentang Pilgubsu jelas tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada siappun itu, yang akan dengan seenaknya akan menyatakan, inilah yang benar dan itulah yang salah. Untuk itu, kita tidak bisa menyerahkan begitu saja kepada penyelenggarapun cek kosong begitu saja, sebab bagi pemikir post-mo seperti Derrida, penyelenggarapun punya “motif tersembunyi” yang mempengaruhi cara pandang mereka sendiri.
Lantas, dimanakah letak kebenaran yang sejati itu?
Menurut Ralph Keyes melalui bukunya “The Post-truth Era” (2004), bahwa saat ini (setidaknya di Amerika dan mungkin ditempat yang lain), sudah terjadi pengaburan batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi. Dunia kita berada saat ini dipenuhi percampuran antara yang disangka baik dengan yang disangka jahat, sehingga tidak satupun ada diantara kita yang tahu, dimana yang benar itu. Dunia kita dunia abu-abu, dimana hitam dan putih sudah lebur dan tak bisa dikenali kembali.
Keyes mengatakan, dunia kita berada saat ini, dibanjiri dengan media yang dengan mudahnya digunakan oleh siapa saja, untuk menipu orang lain, dan menjadikannya suatu permainan belaka. Lihatlah dalam Pilgubsu 2018, mulai dari calon, timses, pendukung, tokoh masyarakat, parpol, pejabat, rakyat biasa, dengan enteng dan “senang hati” menuliskan apa saja suasana hatinya, memposting apa saja, yang menurutnya “benar” bagi dirinya sendiri, persetan dengan orang lain yang terkecoh dan punya pikiran berbeda.
Semua orang bisa melepaskan dan membagika data, bacaan, berita, gambar, opini apa saja dengan harapan ada banyak orang terjaring dalam jaring manipulasi yang dia buat, demi kepentingannya sendiri. Sehingga percakapan di ruang media, ataupun diruang lainnya seperti café, warkop, pangkalan ojek, arisan, seminar, ruang kuliah, dan apa saja, sebagaimana yang disebut Ralp Keyes adalah percakapan fantasi, yang semakin membuat masyarakat kehilangan pegangannya. Tampaknya kita sudah sempurna berada di dalam “ruang hampa” itu.
Apa Kata Nietzsche tentang Pilgubsu 2018?
Nietzshe mengatakan bahwa dunia manusia saat ini, termasuk dimana kita sedang melakukan Pilgubsu 2018 ini, adalah dunia orang mati. Sebabnya semua orang telah menjadikan akalnya, sangkanya, jabatannya, kesenangannya, harga dirinya, kelompoknya, partainya, keluarganya, sebagai “tuhan-tuhan” baru yang kemudian dikekalkan (idefixx), sehingga akhirnya tanpa sadar telah “mematikan”, Tuhan yang sejati.
Semua pasangan merasa paling benar, begitu juga akademisi pendukungnya, begitu juga ulama pendukungnya, begitu juga para pemandu sorak pendukungnya, begitu juga calon pemilih yang berupaya mendukungnya, tidak kecuali media pendukungnya. Jika satu kelompok merasa benar, maka kelompok yang lain pasti salah dan mesti dihancurkan sampai keakarnya (kembali oposisi biner). Dan menurut Nietzsche, hari ini, pada saat dunia chaotic ini, kita justru tak punya pengadil sama sekali. Sebab semua yang ditunjuk sebagai pengadil itupun adalah bahagian dari “permainan” itu sendiri.
Lantas dunia seperti apakah Pilgubsu 2018 ini?
Menurut Nietzsche, dunia Pilgubsu 2018, atau juga Pilkada lainnya di Indonesia bahkan semua aktifitas di dunia, tidak lebih hanyalah dunia “nihilisme”. Kita seolah telah “memegang” kebenaran apa saja yang menurut kita “kebenaran”, meski nyatanya tak ada sesungguhnya yang kita “pegang” itu. Jika kita akhirnya hanya menjadikan uang, jabatan, fantasi dunia, keluarga, harga diri, akal, analisis, sebagai “tuhan-tuhan” yang kita puja, bukankah itu sama artinya kita sudah “membunuh” Tuhan yang sesungguhnya?
Meskipun, dalam kondisi “nihilisme” itu kita tetap akan mendengar, kampanye-kampanye yang luar biasa dari para Calon saat ini tentang masa depan rakyat Sumatera Utara yang akan gilang gemilang kalau mereka terpilih, yang seolah-olah menurut Nietzsche, akan menampakkan suatu “horizon” baru yang mungkin belum pernah terjadi pada era Gubernur sebelumnya, penuh ketakjuban, optimisme, dan mungkin belum pernah ada “laut” yang “terbuka” seperti yang kampanyekan para calon itu.
Namun, Nietzshe kembali bertanya, bukankah kampanye-kampanye itu pun saat ini menjadi “tuhan” baru juga bagi kita? Bukankah kita hari ini (utamanya para calon) telah menggantungkan harapan yang utama pada “kampanye” itu untuk mendapatkan kemenangan? Bukankah, dengan “kampanye” yang dengan berbagai strategi yang kita lakukan, kita harapkan dari situlah kita akan beroleh nikmat kemenangan, sebagaimana doa kita setiap hari? Siapakah yang akan memberikan kemenangan bagi paslon hari ini? Jawabnya, ya, kampanyenya itu! Karena itu para paslon akan memusatkan kampanye dengan strategi apa saja untuk menang.
Nasehat orang bijak bestari seperti Sayidina Ali, yang mengingatkan “jangan beri kekuasaan kepada mereka yang meminta kekuasaan”, hari ini tentu saja tak berlaku, dan dengan jelas telah kita campakkan ke tongsampah. Sekarang, nasehat yang laku bagi paslon adalah, nasehat “kompor” kemenangan, bahasa hiperbola, doa-doa kemenangan, penilaian-penialian absurd, dan sambutan-sambutan kebesaran, serta survey-survey pemuas nafsu. Dan hukum yang berlaku adalah bahwa setiap kritik bagi paslon, adalah serangan, dan wajib dibalas.
Nah, bagi Neitzsche semua pemikiran manusia yang seenaknya, dan kemudian memuja “pemikirannya” sendiri, adalah fakta dimana kita berada di dunia yang “tidak ada”, yang sulit kita jangkau. Kita sesungguhnya hanya tinggal bergerak saja, dalam lautan lepas yang tidak memiliki daratan. Kita bahkan tanpa sadar, tak tau mau menepi dan mendarat dimana. Anehnya, berjalan tanpa daratan itulah yang sesungguhnya hari ini kita impikan pula. Bukankah hari ini kita pingin semua kuasa, semua kesenangan, semua isi bumi ini ada pada kita? Bukankah mereka yang punya segalanya, hari ini kita puja-puji?
Akhirnya, dalam mengakhiri analisis Nietzsche ini, Nietzsche mengatakan, apakah manusia tidak takut, ketika dia sedang mendayung perahu di samudera luas itu yang tanpa daratan, dia suatu saat akan kelelahan dan kemudian akan rindu untuk pulang kampung? Dimanakah kampung? Dimanakah daratan? Dimanakah yang kita cari, ketika yang kita cari itu sudah kita bumi hanguskan?