SMART CITY

MEDANHEADLINES – Tidak ada satupun warga kota di dunia terlebih kita sebagai warga kota Medan, yang tidak merasakan ketidaknyamanan seperti kemacetan, jalan yang berlubang dan becek, pemukiman kumuh, penggusuran, polusi udara yang menyesakkan, pungli merajalela, kriminalitas/begal yang membuat ketar ketir, premanisme, pelayanan publik yang tidak hanya buruk tapi juga plus diskriminatif, KKN diberbagai bidang tak kunjung usai, kenakalan remaja yang mengkhawatirkan, hingga penataan moral maupun penataan kota yang semrawut. Rasanya, hanya sepersekian persen aja warga kota yang benar-benar dapat menikmati fasilitas dan pelayanan kota yang tersedia. Sementara, hampir semua justru berangkat tidur dan bangun dalam suasana mimpi buruk dan serba ketidak pastian.

Para ahli administrasi publik mengatakan sedikit-dikitnya pemerintah kota mengurus urusan masyarakat kota sebanyak empat ratus urusan yang terbagi dalam puluhan dinas, puluhan bidang, ratusan bagian dan sub bagian. Ratusan urusan itulah wujud kerja pemerintah kota yang riil dalam rangka memberikan pelayanan kepada warga kota selaku anggotanya secara administratif. Pelayanan inilah yang menjadi kunci penilaian terkait kinerja pemerintah kota setiap periodenya. Pelayanan inilah yang mesti dikelola (manage) dengan seprofesional mungkin dengan mengedepankan azas-azas kepemerintahan yang baik.

Tanpa pelayanan publik yang prima, semua tindakan pemerintahan kota hanyalah omong kosong belaka, tidak punya visi keberpihakan, dan tentu saja tak memiliki orientasi. Setidaknya para ahli tata kota sekira seratus tahun yang lalu sudah membuktikan, bagaimana semrawutnya kota-kota besar yang ada di negara-negara berkembang. Kota-kota tumbuh kembang tanpa visi kewargaan dan kerakyatan yang jelas. Perencanaan, penataan dan pengelolaan kota bahkan kebanyakan di disain dengan motif-motif politik pembangunan kekuasaan yang kental, mencampakkan warga miskin keluar arena ekonomi, dan menggeser pemukiman kumuh ke pinggir karena merusak pemandangan, menyediakan ruang bermain untuk sebagian warga, bercengkerama hanya sebatas warga kaya, dan akhirnya menuai kejahatan-kejahatan yang baru dan tak terpikirkan sebelumnya.

Terlebih kita di Indonesia, dengan model demokrasi pilkada yang tanpa ruh moral dan nilai budaya, praktis pilkada hanya bisa di ikuti oleh orang-orang kaya semata. Jelas, kini kepala daerah atau pemerintah kota/walikota hanyalah merepresentasi rezim plutokrasi yang massif di Indonesia. Rezim plutokrasi inilah sebagai anak kandung demokrasi yang sudah diprediksi oleh para bijak bestari pasti akan lahir sebagai wujud akhir zaman. Plutokrasi tentu saja akan jelas terlihat dalam penataan kota dan warganya yang lebih mementingkan warga the have dan menelantarkan mereka yang papa.

Smart City

Apa hubungan kesemrawutan kota dengan smart city? Setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir gagasan pengembangan kota pintar (smart city) muncul di berbagai kota di Indonesia mulai dari Bandung, Solo, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa hingga kota Binjai di Sumatera Utara. Ada banyak latar dan alasan yang mendorong dan mendesak di belakangnya. Sebut misalnya atas alasan kebutuhan pelayanan yang prima kepada warga kota (lebih cepat, murah, terbuka, sederhana, responsif, nyaman), mengatasi KKN/pungli, mengatasi diskriminasi, dan tentu saja mengatasi kriminal sehingga warga kota dapat lebih nyaman, aman, tertib dan tentu saja lebih sejahtera. Tak kalah penting tentu saja smart city dianggap sebagai tuntutan sekaligus tuntunan zaman akhir ini yang memang segala sisi kehidupan manusia sudah serba digital, informatif dengan fitur-fitur teknologi terkini.

Walikota Bandung Ridwan Kamil mengatakan tujuh puluh persen urusan warga kota Bandung jelas sangat terbantu dengan keberadaan smart city ini. Sementara walikota yang lain mau tak mau berupaya mengikutinya supaya tak ketinggalan zaman. Terlebih berbagai instansi dan lembaga pusat termasuk KPK sudah mendorong daerah-daerah untuk segera menerapkan konsep smart city dengan alasan masing-masing.

Bisa dibayangkan ada lebih dari enam ratus kota besar dan menengah di Indonesia yang akan segera berbenah atau setidaknya terserang virus konsep smart city. Sebentar lagi kota-kota di Indonesia akan mempraktekkan berbagai pemanfaatan teknologi informasi terkini dengan mengoperasikan cctv yang terintegrasi di setiap sudut kota, sistem GIS, sensor pintar, komputasi cuaca, jaringan wifi yang bebas dan menjangkau seluruh warga, berbagai macam aplikasi kepemerintahan (e-budgetting, e-ktp, e-musrenbang, e-sippadu, e-ppoinment, e-masyarakat, e-lapor/pengaduan, e-preman, e-macet, e-procurement, dll.), hingga publikasi yang luas melalui berbagai media-media baru yang tersedia saat ini.

Pendeknya pelayanan publik oleh pemerintah kota di masa depan akan segera berbasis teknologi informasi yang terintegrasi dengan berbagai lembaga/instansi lainnya seperti TNI, Polri, KPK, Kejaksaan, dan lainnya. Semuanya tentu saja diorientasikan untuk memberikan pelayanan prima kepada warga kota, memberi perasaan aman dan nyaman, perlindungan yang optimal kepada warga dan tentu saja akan lebih sejahtera. Dan semua itu, akan terwujud hanya bergantung kepada political will (kemauan politik) dari seorang walikota belaka. Walikotalah kunci apakah smart city disatu kota berjalan atau tidak.

Berbagai pendapat mengatakan bahwa indikator capaian smart city adalah kenyamanan warga kota, lingkungan yang kondusif, parasarana yang memadai dan menjangkau semua warga, kesejahteraan (mendukung perekonomian), mobilitas warga semakin tinggi, dan tentu saja suasana kehidupan masyarakat yang smart. Meski indikator dapat tumbuh dan kembang, namun setidaknya indikator tersebut dapat-lah menjadi pegangan bagi pemerintah kota maupun warga secara bersama-sama dalam memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintah kota.

Berbagai Masalah

Tidak ada pekerjaan yang paling mudah dilakukan di dunia ini kecuali pekerjaan fisik. Pekerjaan fisik/nyata jelas so-simple, serahkan saja pada ahlinya, sediakan dananya, beli teknologinya dan kemudian terapkan. Karena itu, untuk menjadikan kota pintar dengan berbagai pemanfaatan teknologi informasi yang canggih dan muta-akhir tidaklah sulit bahkan mudah sekali.

Apalagi di Indonesia. Kota pintar tentu saja sangat menarik dari sisi bisnis. Pasti akan muncul ratusan perusahaan yang akan menawarkan perangkat-perangkat teknologi IT terkini untuk digunakan di satu kota. Untuk menjadi kota pintar, pastilah akan muncul persaingan antar perusahaan IT dalam meramaikan tender-tender proyek kota pintar yang tidak kecil harganya. Kalau hanya untuk mengadakan alat, memasang dan mengoperasikan jelas sepintas tak ada kendala yang berarti. Hanaya waktu semalam akan muncul ribuan perusahaan yang memiliki kualifikasi ‘menghidupkan’ kota pintar. Bahkan kota Binjai di Sumut sudah memulainya dan sudah pula mendeklarasikannya.

Namun ternyata, jika kita berfikir mendalam ternyata menjadi smart city itu bukan sebatas urusan meletakkan IT di seluruh penjuru kota, memasang wifi, dan menyediakan berbagai aplikasi di android, kemudian mendeklarasikannya, lantas semua urusan sim salabim selesai. Ternyata, pemanfaatan aplikasi IT dalam pelayanan publik tidak lantas seperti menyulap masalah perkotaan yang kompleks kemudian menjadi hilang begitu saja. Dengan deklarasi sebagai kota pintar dengan publikasi yang meriah lantas tiba-tiba warga kota akan nyaman dan sejahtera.

Urusan manusia tentu saja tidak sesederhana itu. Sebab kalau logika itu benar, tentu saja kota-kota besar dunia di Eropa, Amerika Utara, Asia, Afrika, Latin Amerika sudah lebih dahulu nyaman dan sejahtera. Namun kenyataan tidak berbicara seperti itu. Sudah seratus tahun lamanya kota-kota besar di dunia dengan pemanfaatan IT tetap menghadapi masalah-masalah sosial yang pelik.

Mempersiapkan teknologi (IT) dengan beragam aplikasinya mudah, namun apakah mempersipkan para pemimpin kota yang bebas dari money politic dalam pilkada mudah? Buat quickcount sangat mudah, tapi apakah buat pemilih yang bebas transaksi mudah? Apakah mempersiapkan birokrasi daerah yang bersih dari KKN, berwatak mulia, penuh dengan kebijaksanaan mudah? Apakah mempersiapkan masyarakat yang juga pintar dalam mengakses segudang aplikasi IT kota pintar mudah (well-teknologi)? Terlebih-lebih apakah mempersiapkan masyarakat yang tidak sekedar pintar namun bermoral, memiliki nilai-nilai luhur yang bijak dalam memanfaatkan IT adalah mudah?

Lihat saja kenyataan. Kita adalah salah satu negara di dunia dengan pengguna media sosial tertinggi. Lantas apakah pemanfaatan medsos sudah diimbangi dengan pemanfaatan moral/akhlak/kebijaksanaan yang juga tinggi/ super canggih? Bukankah ada tigaratus antropolog saat ini justru menjerit-jerit atas pemanfaatan medsos di Indonesia yang justru mengancam keterbelahan dan keterpecahan sosial bangsa Indonesia?

Medsos tidak salah, tapi ternyata telah kita manfaatkannya untuk berbuat kejahatan. Fikiran kita yang diberikan Tuhan tidak salah, tapi kita telah salah memanfaatkannya untuk kepentingan diri kita semata dan untuk berbuat kejahatan. Jadi terpenting diatas semuanya bukan medianya, bukan IT-nya, bukan segudang fitur-nya, melainkan terpenting adalah manusianya. Bahkan bukan sekedar kecanggihan pemikiran manusia saja/rasionya melainkan kebijaksanaan/nilai luhurnya.

Karena itu untuk menyongsong kota pintar ternyata kita penting untuk mempersiapkan manusianya terlebih dahulu. Manusia bukan dalam pengertian sumber daya manusia (SDM) yang selalu kita cakapkan yang lebih berorientasi pada kemampuan rasio-nya. Kita bukan mempersiapkan SDM dengan ribuan diklat dan pelatihan ketrampilan seperti yang selalu kita lakukan selama ini. Namun kita mempersiapkan kebijaksanaannya, kemuliaannya, keluhuran budinya. Sehingga dalam memanfaatkan IT itu yang menuntun manusia bukan teknologi itu melainkan adalah moral-akhlaknya. Untuk menjadi seseorang luhur tentu saja kita butuh guru yang sebenarnya yaitu para orang tua, pemuka adat, dan pemuka agama serta tak ketinggalan para walikota. Merekalah yang semestinya menjadi guru moral dalam pengertian yang sejatinya.

Mengaplikasikan fitur-fitur pada kota pintar bisa semalam. Namun, mengaplikasikan fitur-fitur akhlak, moral, mental, kemuliaan, sopan santun, gotong royong, persaudaraan dan kebersamaan, sudah tujuh puluh satu tahun tak juga bisa kita lakukan. Kita bukan anti kota pintar, tapi kita tidak setuju jika uang rakyat hanya digunakan untuk proyek-proyek gagahan yang hanya ikut trending-topic, lahir dari simulasi, dan sebatas ilusi. Salah eksperimen yang hancur seluruh warga kota bukan teknologinya. (tulisan ini disarikan dari diskusi akhir tahun 2016 yang dilakukan oleh ICMI muda Sumut di Parkit Room Dharma Deli Medan, semoga bermanfaat).

 

Penulis: Dadang Darmawan, M.Si

Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.