MEDANHEADLINES, – Pemko Medan akhirnya membentuk Satgas Saber Pungli, sebagaimana yang dilakukan oleh pusat. Seorang akademisi menulis status di dinding lamannya, “ bisa saja dengan adanya satgas semua urusan masyarakat ke birokrasi tak di pungli lagi, tapi urusannya bisa berhari-hari dan kita dibuat sibuk kesana kemari”. Dari aksi dan reaksi seperti itu dapat kita baca bahwa meski langkah Pemko Medan bentuk Satgas Saber Pungli di apresiasi namun masyarakat masih melihat semuanya serba artifisial (semu), belum sungguh-sungguh untuk membebaskan birokrasi dari pungli.
Masih ingat, kebijakan Walikota Medan Abdillah urus KTP dan KK gratis? Pada prakteknya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dilapangan banyak ditemukan pungli tetap terjadi. Sampai-sampai ada ucapan dari pejabat dikelurahan yang paling sering dikutip masyarakat yang terkesan mengolok-ngolok, “kalau mau urus gratis, silahkan urus ke Walikota langsung”.
Jelas, pungli telah lama dan berakar tunggang dan telah menghunjam dalam kehidupan kita. Pungli disadari atau tidak telah menjadi bahagian dalam pekerjaan sehari-hari para birokrat pelayan publik. Pungli sudah seperti minyak pelumas yang memperlancar seluruh urusan. Tanpa pungli semua urusan dipastikan akan macet, tak jelas, dicuekin, tidak cepat, tidak terbuka, lama, dan tidak nyaman. Padahal dunia pelayanan publik kini sudah memasuki era pelayanan prima yang menuntun seorang pelayan publik untuk kerja cepat, terbuka, responsif, tanggung jawab dan murah. Persaingan produktifitas antar negara tentu saja sangat ditentukan oleh pelayanan birokrasi yang prima di negara masing-masing.
Tiga Kekuasaan & Pungli
Kita adalah negara yang menganut konsep trias politica dimana ada tiga kekuasaan yang menjalankan negara kita secara bersamaan, yaitu kekuasaan eksekutif (pemerintah/pemerintah daerah), kekuasaan legislatif (DPR/DPRD) dan kekuasaan Yudikatif (Badan Peradilan). Masing-masing kekuasaan tentu saja memiliki birokrasi pelayanannya sendiri. Semua masyarakat dalam berhubungan dengan ketiga kekuasaan tersebut akan juga berhadapan dengan birokrasi di dalamnya yang tentu saja masing-masing birokrasi tersebut tunduk pada kebijakan pimpinan di masing-masing kekuasaan tersebut.
Sudah umum jika di tengah masyarakat selalu bisik-bisik bahwa pungli berlangsung disemua sistem kekuasaan yang ada. Pungli tidak hanya terjadi pada kekuasaan eksekutif (pemerintah kota) saja, melainkan juga bisa terjadi pada kekuasaan legislatif (DPRD Medan) dan juga pada kekuasaan Yudikatif (Peradilan). Pendeknya, kekuasaan adalah modal sekaligus alat yang paling mudah digunakan untuk melakukan pungli. Sebab, masyarakat membutuhkan pelayanan dari amsing-masing lembaga kekuasaan yang ada.
Pada tingkat pusat, semua operasi KPK telah mensasar ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Sehingga yang tertangkap tangan oleh KPK itu adalah mewakili ketiga lembaga kekuasaan tersebut apakah itu Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Begitu juga di daerah-daerah kasus korupsi (pungli) di ketiga kekuasaan tersebut juga terjadi. Banyak operasi tangkap tangan KPK telah menjamah ketiga kekuasaan di daerah-daerah apakah itu pemerintah daerah, DPRD ataupun lembaga peradilan (kehakiman, kejaksaan, kepolisian).
Karena itu, satgas yang telah dibentuk oleh Pemko Medan (eksekutif) mestinya juga diikuti oleh pembentukan satgas di kekuasaan lainnya yaitu di DPRD kota Medan dan Lembaga-lembaga Yudikatif di Kota Medan (Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian). Dengan demikian ketiga kekuasaan tersebut berjalan beriringan dalam pembersihan pungli di tubuhnya masing-masing.
Penutup
Ada pertanyaan besar yang muncul. Mengapa satgas saber pungli baru terbentuk hari ini di seluruh pemda di Indonesia? Kalau mau berantas pungli, mengapa tidak dari dulu? Benar, satgas di daerah dibentuk karena perintah dari pemerintah pusat dimana pemerintah pusat sudah lebih dahulu membentuk satgas saber pungli. Jadi pembentukan satgas saber pungli daerah sesungguhnya bukan kemauan dan kesadaran pemerintah daerah melainkan karena tekanan kebijakan pusat. Artinya sistemlah yang memaksa terbentuknya satgas saber pungli bukan karena watak/mental anti pungli yang tumbuh alamiah di jajaran pemerintah daerah.
Jelas, tanpa perubahan mental aparat kinerja satgas saber pungli bisa saja tidak efektif dan hanya panas di awal saja. Banyak sudah kebijakan penerapan pelayanan publik prima yang hanya wah di awalnya saja sejak era Presiden Megawati namun kemudian layu dan hilang sama sekali. Sebabnya, semua perubahan sistem (undang-undang/peraturan) kerap kali tidak di ikuti oleh perubahan mental/sikap aparatur pelaksana. Memberantas pungli tanpa membangun pondasi mental sama saja dengan membangun istana pasir, tinggal tunggu waktu hilang ditelah gelombang kehidupan yang sudah penuh dengan gonjang-ganjing. Tindakan Presiden sidak ke pelabuhan dan ikut melakukan OTT adalah bukti bahwa pembangunan mental pada jajaran pemerintah belum terjadi atau belum juga dilakukan. Jika mental aparatur sipil negara di pusat saja belum berubah, akankah terjadi perubahan mental aparatur di daerah? Bisa ya bisa juga tidak, tak ada yang pasti, semuanya serba tergantung….
Penulis, Dadang Darmawan, M.Si
Dosen DIA FISIP USU