MEDANHEADLINES.COM, Medan – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah mengumumkan hasil pemeriksaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sembilan orang hakim MK kemarin sore tepatnya pada Selasa, 07 Oktober 2023.
Pelanggaran etik yang dilakukan oleh sembilan orang hakim MK tersebut berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
MKMK yang terdiri dari Jimly Ashiddiqie (selaku Ketua), Wahiduddin Adams (selaku Sekretaris) dan Bintan R. Saragih (selaku Anggota) memutuskan bahwa sembilan orang hakim MK, yakni Anwar Usman (Ketua MK merangkap anggota), Saldi Isra (Wakil Ketua MK merangkap anggota), Enny Nurbaningsih (Anggota), Manahan MP Sitompul (Anggota), Suhartoyo (Anggota), Wahiduddin Adams (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Daniel Yoesmic (Anggota) dan Guntur Hamzah (Anggota), dinyatakan melanggar kode etik atau Sapta Karsa Hutama Hakim Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi Putusan MK tersebut sampai saat ini masih berlaku dan MKMK menyatakan tidak memiliki kewenangan terhadap putusan tersebut.
Berdasarkan fakta tersebut, menurut seorang Pengamat Konstitusi, Brimob Ritonga atau yang akrab disapa Ibnu Arsib mengatakan bahwa ada yang tak masuk akal sehat. Seharusnya MKMK mengambil langkah yang berani untuk membatalkan Putusan a quo atau setidak-tidaknya memerintahkan para hakim MK untuk memeriksa kembali putusan tersebut.
“Ada yang tidak masuk akal sehat. Para hakim konstitusi dinyatakan bersalah karena melanggar kode etik dan Ketua MK sendiri dinyatakan melakukan pelanggaran berat sehingga dicopot dari jabatannya,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Rabu (08/11/2023).
Mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU) itu menjelaskan bahwa dalam Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 menyatakan bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat sehingga jabatannya selaku Ketua MK diberhentikan dengan tidak hormat alias dicopot dan dilarang untuk menjadi pimpinan MK lagi serta dilarang untuk menangani perkara sengketa pemilu dan pengujian undang-undang yang mengandung unsur konflik kepentingan (conflict of interest) terkait batasan usia capres dan cawapres.
Kemudian, dalam Putusan MKMK Nomor 3/MKMK/L/11/2023, Putusan MKMK Nomor 4/MKMK/L/11/2023, dan Putusan MKMK Nomor 5/MKMK/L/11/2023 menyatakan semua hakim MK melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang menyangkut kebocoran informasi Rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim dan pembiaran praktik benturan kepentingan para Hakim Konstitusi dalam penanganan perkara dan menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif.
Dengan dinyatakannya Ketua MK melakukan pelanggaran etik berat dan seluruh hakim MK melanggar Kode Etik dan Perilaku Etik sebagaimana disebutkan dalam Sapta Karsa Hutama, menurutnya Putusan tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan dapat diperiksa kembali, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Ayat (5), Ayat (6) dan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Seharusnya MKMK dapat membatalkan Putusan yang menjadi faktor sembilan hakim itu dilaporkan. Sekarang telah jelas mereka semuanya bersalah melanggar kode etik dan perilaku hakim konsitusi. Setidaknya MKMK memerintahkan untuk memeriksa ulang kembali putusan bermasalah tersebut. Hal ini ada dasar hukumnya, yaitu undang-undang kekuasaan kehakiman. Coba dibaca baik-baik undang-undang tersebut, undang-undang itu juga mengatur terkait hakim MK, bukan hanya hakim-hakim di dalam Mahkamah Agung. Jadi jelas itu bisa dibatalkan setelah sembilan hakim MK itu dinyatakan melanggar kode etik dan melanggar UU Kekuasaan Kehakiman,” tegasnya.
Penulis : Mahasiswa S2 Fakultas Hukum UISU