Ilustrasi
MEDANHEADLINES.COM, Medan – Pusat Kajian dan PerlindunganAnak (PKPA)menyayangkan lambatnya proses hukum atas kasus pencabulan yang dialami oleh JC (5 tahun). PKPA dan UPT PPA Provsu mengalami kendala dan kesulitan untuk bertemu dan berkordinasi dengan jaksa dalam upaya memantau perkembangan proses persidangan korban.
Sebelumnya diketahui bahwa JC adalah korban pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sejak JC berusia 2 tahun. Pencabulan terungkap sejak januari 2019 dan pelaku atas nama JW telah menjalani persidangan di KejaksaanNegeri Sei Rampah, Sergai atas tuntutan pencabulan, namun hingga saat ini tidak ditahan kejaksaan dan hanya menjalani tahanan kota.
H (34 tahun) ibu korban juga menyayangkan keputusan kejaksaan yang hanya menuntut pelaku 9 tahun penjara. Beliau yakin bahwa pelaku layak dituntut di atas 10 tahun karena dilakukan oleh orang yang seharusnya melindungi korban.
PKPA selaku lembaga yang fokus pada pemenuhan hak anak beranggapan bahwa lambatnya proses hukum atas kasus JC dapat berdampak buruk pada psikologi korban dan dapat menyebabkan trauma yang berkepanjangan.
“Bahwa sampai proses persidangan terdakwa juga belum dilakukan penahanan. Keputusan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa juga memperburuk kondisi korban. Ditambah lagi pada saat persidangan, korban ditempatkan pada ruangan yang sama dengan pelaku sehingga menyebabkan trauma pada anak. Terutama karena terdakwa merupakan ayah kandung korban.” Papar Dizza Siti Soraya selaku Koordinator Pusat Pengaduan Anak PKPA.
Meninjau lambatnya proses hukum dalam kasus ini, Keumala Dewi selaku Direktur Eksekutif PKPA berpendapat bahwaProses penanganan kasus yang lambat ini, mengindikasikan kurang seriusnya aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus ini. Dan dampaknya kepada si anak adalah trauma berkepanjangan karena sampai saat ini pelaku bebas berkeliaran, lebih jauh lagi, dampaknya pada sistem perlindungan anak dan penegakan hukum di Sumatera Utara yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu, kegagalan merespon dan menangani kasus ini, akan menimbulkan munculnya kasus2 serupa pada anak lain, dan ini menjadi citra buruk pada penegakan hukum dan pemerintahan di Indonesia.
Kasus yang menimpa JW juga mendapat sorotan dari Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, SH, MS.
“Kami prihatin atas kejadian yang menimpa anak kita JW (6) yang diduga menjadi korban pencabulan. Semoga pelakunya dapat dikenakan sanksi Pasal 82 UU 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak. Terima kasih kepada PKPA Medan dan Dinas P3A Prov Sumatera Utara yang telah melakukan berbagai upaya perlindungan anak dan pendampingan selama proses peradilan. Semoga putusan hukumnya akan berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.” Paparnya dalamkordinasi yang dilakukannya bersamaYayasan PKPA. (red)