MEDANHEADLINES.COM, Medan – Persoalan kawasan hutan yang tak kunjung henti di Sumatera Utara terus mengakibatkan konflik tenurial baik struktural sampai horizontal. Atas dasar hal tersebut lah, Walhi Sumatera Utara, menginisiasi Langkah-langkah penyelesaian permasalahan di Kawasan Hutan melalui kolaborasi multi Pihak antara elemen Legeslatif, Eksekutif dan Masyarakat Sipil di Sumatera Utara.
Pertemuan yang diselenggarakan di ruang Aula DPRD Sumut tersebut membahas upaya penyelesaian berbagai permasalahan di kawasan hutan, termasuk hutan pesisir di seluruh Sumatera Utara.
Beberapa Anggota Komisi B DPRD Su, Viktor Silaen (Komisi B Partai Golkar) , J Ritonga, Tuani L Tobing, Pantur Banjar Nahor, Sugiharto, Thomas Daci, Fauzan (PAN). Adapun dalam pertemuan ini turut terlibat, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, BPSKL Wilayah Sumatera. Dan beberapa elemen masyarakat sipil seperti Walhi Sumut bersama beberapa kelompok tani Hutan dan kelompok Masyarakat yang arealnya berkonflik di kawasan hutan. Beberapa kelompok tani tersebut merupakan kelompok yang masih mengalami konflik perhutanan sosial di Sumatera Utara.
Pertemuan yang diinisiasi DPRD Sumut tersebut bertujuan untuk menggali berbagai permasalahan perhutanan sosial dan kawasan hutan secara umum di Sumatera Utara.
Mendengar belum adanya permasalahan di lapangan dari keterangan Perwakilan Pemerintah (BPSKL dan Dishut Provsu), Beberapa Anggota DPRD memantik diskusi untuk menelusuri apa-apa saja permasalahan yang terjadi di lapangan dan konflik-konflik yang terjadi yang disebabkan dari permasalahan tumpang tingdihnya kawasan hutan dengan areal masyarakat, korporasi, dan oknum-oknum individu yag memanfaatkan keuntungan.
“ Saat ini, Jangan malah kita tutup mata pada pengusaha dan kepentingannya di kawasan hutan ini. Masyarakat itu berkepentingan dan merasa memiliki lingkunga, beberapa masyarakat yang dapat izin tapi masih ada oknum tertentu tanpa izin masih mengelola tanah yang diperuntukkan masuyarakat. Mohon kepada BPSKL dan dinas kehutanan provinsi, Hutan akan lestari jika kita kelola dengan baik, oleh masyarakat dan jangan dibiari terus terus alih fungsi yang akhirnya menjadikan hutan jadi kebun-kebun sawit dan lain sebagainya. Di labura, sampai kepala daerah turun tangan bahkan melindungi pengusaha, lahan sudah dikuasai kebun sawit, habis hutan kita, lestarikan Hutan itu, kita kan terbantu karna masyarakat mengelola hutan.” papar anggota Komisi B anggota DPRD Sumut J Ritonga
Sedangkan Anggota DPRD Lainnya, Tuani L Tobing mempertanyakan kondisi berbagai permasalahan kawasan hutan tersebut.
“Ini hal fundamental, masalah tanah ini, masalah hajat hidup banyak orang, relevansi nya harus sesuai dengan potensi dan jenis proyeksi untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Akhir akhir ini saya melihat fenomena masyarakat, adanya penyadapan hutan pinus, seiring cita cita kita bagaimana masyarakat bisa hidup dari aksesnya terhadap hutan. Adakah sudah ada model, kelola hutan untuk masyarakat.” Tanya Politisi asal Tapanuli tersebut.
Berbagai permasalahan di dalam kawasan hutan, termasuk konflik tenurial yang Walhi Sumatera advokasi terus terjadi sekalipun hak legal pengelolaan kawasan hutan sudah dipegang oleh masyarakat.
Dana Tarigan, Direktur Walhi Sumatera Utara menyampaikan bahwa perubahan status kawasan hutan justru turut berkontribusi pada terakomodirnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambakan, hutan tanaman industri, dan telah menunjuk wilayah-wilayah desa yang telah dihuni selama beberapa generasi masuk ke dalam kawasan hutan.
“Mulai tahun 2005, adanya SK 44 sampai sk 8088 yang terbaru telah mengakibatkan adanya penurunan luas kawasan hutan lindung, dan perluasan hutan produksi yang telah mengklaim tanah-tanah masyarakat dan wilayah desa. Kawasan Hutan Lindung juga turut dialihfungsikan akibat adanya pembangunan infrastruktur jalan lintas Karo-Langkat, bukannya kita anti infrastruktur, tapi kalau mengalihfungsikan hutan, tentu akan kita kritisi. Belum lagi masalah hutan mangrove di pesisir Sumatera Utara, bahwa sejak tahun 1999, ada alih fungsi 45 % kawasan hutan menjadi perkebunan sawit, tambak 35 %, dan sisanya adalah areal-areal yang dimanfaatkan oleh masyarakat.” Tegas Dana Tarigan.
Sementara itu, Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh menyayangkan sikap pemerintah dan aparat penegak hukum yang cenderung abai akan konflik areal HKM yang mereka kelola diganggu dan turut dikelola perkebunan sawit.
“Sejak 2016 saya bersama kelompok siap melestarikan hutan, 2018 HKM kita keluar, justru malah kondisi pandemi korona gini, hutan kelola kami itu dirusak oleh kebun sawit”. Ungkap Samsul.
Sedangkan, Kelompok tani Mangrove Jaya juga menyesalkan bahwa areal kelola HKM yang diperuntukkan kepada kelompok tersebut sama sekali belum bisa mereka kelola. Seperti yang disampaikan salah satu pengurus Kelompok Mangrove Jaya, Mail,
“saat ini bahkan ketua kami dikriminalisasi, dengan delik kasus narkoba, belakangan ini, ada pengusaha kebun sawit yang mengelola di areal HKM kami masuk ke lahan tanpa izin, bersama polisi, dan bersama kepala desa, yang seolah memicu conflictof interest. Kita ingin sawit itu ditebang dan akan ditanam hutan mangrove, Kami mengharapkan KPH dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas, dan jangan abaikan meskipun sudah beberapa kali membuat pelaporan atas kasus yang kami alami dan bahkan penyelesaian ini harus libatkan polisi” terang pria berkacamata ini.
Peristiwa konflik yang dialami kedua kelompok tani ini pun turut ditegaskan kasusnya oleh Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumatera Utara. Ari turut menyayangkan bahwa beberapa kali pelaporan kasus Tani Nipah dan Mangrove Jaya ke Intitusi Kehutanan dan Penegak Hukum belum ditindaklanjuti sampai saat ini.
Jika kedua kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya, berkonflik di areal kelola perhutanan yang sudah diperuntukkan kepada mereka, berbeda halnya dengan yang Kelompok masyarakat Naga Jaya, di Desa Naga Kisar, Kec. Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Sumardiono, salah satu anggota kelompok tersebut yang hadir dalam pertemuan, mengatakan bahwa areal leluhur mereka sejak turun temurun justru diusulkan menjadi areal perhutanan sosial oleh kelompok Gapoktan Desa tanpa adanya pemberitauan kepada Kelompok Naga Jaya.
Dalam penyampaiannya, Pak Sumardiono menerangkan bahwa terdapat pemakaman leluhur mereka yang sejak tahun 1900-an awal adalah bukti bahwa kawasan tersebut adalah warisan leluhur mereka. Hal yang sama juga terjadi di Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, bahwa ada sebuah wilayah dusun yang sudah diajukan pihak yang tidak diketahui menjadi areal perhutanan sosial tanpa diketahui masyarakat dusun.
Kemudian, ada juga dari kelompok masyarakat yang hadir masih dalam proses pengajuan yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini disampaikan Medi Kembaren, salah satu pengurus Kelompok Tani Melati, Desa Adin Tengah kec, salapian, Langkat, yang turut hadir menyampaikan keluhannya akan pengajuan perhutanan sosial mereka yang belum diakomodir. “Kami sudah mengajukan IUPHKM perhutanan sosial, di kawasan sebuah perusahaan kayu logging. Kami niat untuk mengelola dan menanam, namun kami justru dikriminalisasi, dan kami justru direkomendasi oleh KPH 1 Stabat dan Dinas Kehutanan untuk bermitra dengan perusahaan.” Terangnya.
Mendengar beberapa permasalahan yang dialami oleh Walhi dan beberapa kelompok tani hutan, beberapa anggota DPRD Sumut yang berhadir turut prihatin atas kondisi rumitnya persoalan konflik di kawasan hutan ini. Seperti yang disampaikan oleh Sugiarto, anggota Komisi B DPRD Sumut,
“Kenapa ada rumah dan perkampungan serta perladangan yang orang sudah menempatinya selama 3 generasi kemudian jadi kawasan hutan dan diklaim oleh pihak yang tidak bertanggung jawab? Perhutanan Sosial kan setau saya dibuat untuk kesejahteraan rakyat, bahkan ada desa, kantor polisi dan lain sebagainya, masuk dalam kawasan hutan, kenapa dalam verifikasi, proses indentifikasinya janganlah abai, Pemerintah harus serius menangani hal gini” Ungkapnya.
Berbagai persoalan yang telah disampaikan Walhi Sumut dan beberapa kelompok tani hutan, Manasi sirait, Kepala Seksi Penanganan Konflik Tenurial dan Adat, BPSKL Sumatera menyampaikan bahwa memang sejauh ini, berbagai laporan kasus sudah mereka terima dan dengar, seperti di Desa Naga Kisar, Mangrove Jaya, dan KTH Nipah. Ia menyampaikan bahwa dalam beberapa hari ke depan, mereka akan melakukan kunjungan lapangan di Langkat, ke Kelompok Mangrove Jaya, Naga Kisar dan lain-lainnya untuk segera ditangani bersama intitusi terkait lainnya.
Di Akhir, sama seperti yang Walhi Sumut dorong kepada DPRD Sumut dan Pemerintah Sumatera Utara pada 22 Juni 2020 lalu, bahwa diskusi lanjutan yang melibatkan elemen pemerintah dan beberapa kelompok masyarakat ini, selaku Direktur Walhi Sumatera Utara, Dana Tarigan meminta agar DPRD Sumatera Utara, dalam hal ini Komisi B untuk menginisiasi terbentuknya tim terdiri dari DPRD, Pemerintah, dan elemen masyarakat sipil yang bisa bekerja sama beberapa hal terkait penyelesaian berbagai permasalahan dalam kawasan hutan seperti:
1. Melakukan penelusuran luasan kawasan hutan (30 %) kawasan hutan di Sumatera Utara dan kesesuaian dengan daya dukung yang berpihak pada lingkungan dan rakyat.
2. Menginventarisasi izin-izin yang ada di kawasan hutan, untuk mengetahui, yang mana kawasan hutan dan bukan kawasan hutan.
3. Turut terlibat dan bersumbangsih pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan dan terlibat dalam mendorong kebijakan perhutanan sosial yang akses hutan memang diberikan hak kepada masyarakat.
4. Hasil hutan bukan kayu yang bisa dikelola masyarakat lokal di sekitaran kawasan hutan. Dan,
5. Mendorong Tim atau Kelompok Kerja Bersama antara DPRD Sumatera Utara, Pemerintah Sumatera Utara, dan Organisasi Masyarakat Sipil yang akan secara khusus menangani berbagai persoalan-persoalan kejahatan di kawasan hutan.
Sebagai penutup, Tuani L Tobing anggota DPRD Sumut, menyampaikan bahwa persoalan Perhutanan Sosial memang menjadi rumit sampai saat ini. “kalau Inputnya salah, output nya jelas salah. Viktor Silaen, Ketua Komisi B DPRD Sumut, menyimpulkan bahwa persoalan hutan ini yang menjadi masalah bagi banyak masyarakat di Sumatera Utara.
“Bukan hanya di Sergai, Langkat dan Deli Serdang, tapi kampung kita di Tapanuli juga banyak masalah yang sama, harus kita sosialisasikan secara benar. Kami minta BPSKL dan Dinas Kehutanan Sumut untuk memberikan peta hutan Sumut ini, dan mengenai Kelompok Kerja yang akan kita buat, kita harus bersama-sama terlibat antara DPRD Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Elemen Masyarakat Sipil.” Tutupnya. (red)