Menyoroti Kasus Novel Baswedan, Tim Advokasi Amicus Meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia Bertindak

MEDANHEADLINES.COM – Tim Advokasi Amicus telah resmi mengirimkan Surat Kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (24/6/2020).

Tim Advokasi Amicus meminta kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung demi penegasan terhadap definisi penasehat hukum.

“Bersama ini kami Tim Advokasi Amicus meminta agar adanya penegasan defenisi penasehat hukum,” ujar Bunga Meisa Siagian.

Disampaikannya, dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), terdapat pemisahan peran dan fungsi dari aparat penegak hukum dan juga lembaga yustisial, dimana aparat kepolisian hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan (investigation), penuntut umum hanya berwenang melakukan penuntutan (prosecution) dan eksekusi putusan pemidanaan.

Kemudian, lembaga pengadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana (criminal verdict), lembaga pemasyarakan berwenang mengawasi proses berjalannya hukuman narapidana dan pembinaan, serta penasehat hukum/advokat hanya berwenang melakukan pendampingan pada semua tingkat pemeriksaan, memastikan hak-hak tersangka atau terdakwa tetap terpenuhi selama dalam proses pemeriksaan dan memberikan pembelaan di persidangan (defend the accused).

“Oleh karena itu, sudah seharusnya terdapat pembagian kewenangan antar penegak hukum secara sinkronisasi struktural, diferensiasi fungsional, dan payung hukum yang berbeda bertujuan agar terciptanya proses hukum yang adil (due process of law),”terangnya.

Bunga Meisa Siagian menjelaskan, munculnya kasus di mana oknum kepolisian melakukan tugas sebagai penasihat hukum dalam persidangan Novel Baswedan tidak hanya melanggar kewenangannya yang dibatasi oleh Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 (KUHAP), namun lebih dari itu berpotensi menciderai proses terbangunnya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dan melangkahi kewenangan penasihat hukum/Advokat untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya, untuk memberikan pembelaan yang maksimal kepada terdakwa berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat juncto 69-74 KUHAP.

“Demi mewujudkan kepemimpinan hukum yang berwibawa dan memperbaiki budaya hukum saat ini, sebagai prasyarat efektivitas penegak hukum, demi mewujudkan kemampuan mengungkap dan membuktikan perbuatan melawan hukum yang diproses secara transparan dan akuntabel. Serta kemampuan untuk mengungkap setiap penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum itu sendiri,”jabarnya.

Para stakeholder, lanjut Meisa, kekuasaan kehakiman harus melihat kedudukan Profesi seperti Profesi Advokat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 18 Tahun 2003 termasuk melekat kepada penasehat hukum yang ditugaskan oleh Polri tanpa kecuali.

“Kami meminta hal seperti ini tidak terulang lagi ke depan, sehingga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) harus diterbitkan guna mempertegas  tatanan dan fungsi yang jelas antara unsur penegak hukum sebagaimana kami jabarkan di atas. Masing-masing telah diangkat dan disumpah sesuai profesi masing-masing, alangkah baiknya mandat dan sumpah profesi tersebut dijalankan  sebagaimana mestinya,”katanya.

Ia pun menjelaskan, Perma harus menegaskan pula bahwa Penasehat Hukum dalam Perkap Nomor 2 Tahun 2017 harus berkesesuaian dengan UU No 18 Tahun 2003 Tentang juncto UU Nomor Tahun 1981 Tentang KUHAP (vide Pasal 1 angka 13 juncto Pasal 54) sudah berelaborasi menyatakan, bahwa Pemberian Bantuan Hukum hanya dapat diberikan oleh penasehat hukum dan tidak ada orang dapat bertindak sebagai penasehat hukum di dalam peradilan Pidana.

“Perma tersebut juga harus menerangkan bahwa Advokat yang sah secara Undang-Undang Advokat adalah yang telah terverifikasi sebagai Anggota Organisasi Advokat dan Mempunyai Berita Acara Sumpah berdasarkan peraturan hukum yang berlaku dalam semua lingkup peradilan,”ujarnya.

Oleh karenanya, tambah Meisa, berdasarkan perenungan hukum dan logika hukum pihaknya meminta dukungan ide substansi atas penerbitan Perma, sebagaimana diharapkan agar dijalankan konsistensi dan tidak tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. .

“Ya, sehingga tercipta kemanfaatan hukum yang didalamnya ada kepastian hukum yang dihormati dan diakui demi tegaknya keadilan di Proses Peradilan,”ungkap Meisa.

Berdasarkan permintaan tersebut, Tim Advokasi Amicus menunggu respon baik dari Ketua Mahkamah Agung, guna memberikan kepastian hukum dan mengharapkan dapat mewujudkan tatanan hukum yg lebih baik.

Sehingga, dapat menjadi acuan di seluruh peradilan serta memberikan ketegasan dalam praktek beracara di peradilan pidana untuk melarang siapapun yang belum menjadi Advokat untuk mengenakan atribut Advokat.

Adapun yang terdiri dari gabungan advokat yang menjadi bagian dari peradilan di Indonesia melalui perwakilannya adalah, Johan Imanuel, Indra Rusmi, Ricka Kartika Barus, Bunga Siagian, Arjana Bagaskara Solichin, Hema Anggiat Marojahan Simanjuntak, Ika Arini Batubara, Novli Harahap, Joe Ricardo, Wendra Puji, Erwin Purnama, dan Fernando.

Kemudian, Asep Dedi, Yogi Pajar Suprayogi, Intan Nur Rahmawanti, John SA Sidabutar, Irwan Lalegit, Denny Supari, Arnold JP Nainggolan, Abdul Salam, Farhan Syathir,Kemal Hersanti, Gunawan Liman, Abdul Jabbar, Ombun Suryono Sidauruk, M. Yusran Lessy. (raj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.