Terkait Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Jokowi Digugat Ke PTUN

Presiden Joko Widodo. [ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan]

MEDANHEADLINES.COM – Tim Advokasi Demokrasi resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, terhadap keputusan Presiden Jokowi membahas Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Kelompok tersebut terdiri atas sejumlah lembaga seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Anggota Tim Advokasi Demokrasi yang juga Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, ada sejumlah alasan yang mendasari gugatan tersebut.

Ia menyebut kehadiran RUU Cipta Kerja sejak awal sudah menuai beragam persoalan, baik pelanggaran secara prosedur maupun pelanggaran substansi.

Arief menuturkan, pelanggaran prosedur artinya tahapan pembentukan perundang-undangan yang semestinya diikuti justru tidak dipatuhi oleh pemerintah.

Kemudian, terkait substansi yang ternyata banyak menabrak konstitusi maupun berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi yang sudah pernah diputuskan.

“Dan kenapa kemudian teman-teman ini melakukan gugatan? Perlu diketahui bahwa tadi saya sampaikan dalam pembentukan perundang-undangan ada prosedur yang harus diikuti. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada tahapan pertama adalah perencanaan,” kata Arif dalam konferensi pers virtual, Minggu (3/5/2020).

“Perencanaan ini bisa diajukan atau bisa diusulkan oleh penerintah maupun DPR. Dan dalam konteks RUU Cilaka maka ini diusulkan oleh pemerintah, oleh presiden,” sambung Arif.

Kemudian, kehadiran surat presiden yang dikirimkan kepada DPR pada tanggal 12 Februari 2020 untuk membahas RUU Cipta Kerja itu yang menjadi objek gugatan Tim Advokasi untuk Demokrasi ke PTUN Jakarta.

“Surat presiden mengutus Menteri Hukum dan HAM untuk membahas DPR itulah yang kita persoalkan, itulah yang kemudian kita gugat,” kata Arif.

Arif mengatakan, kesalahan prosedur sudah sejak awal terjadi dalam proses pembentukan RUU.

Seharusnya, kata dia, pemerintah sebagai pengusul harus melibatkan masyarakat dalam penyusunannya sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Tetapi, dalam kenyataaannya aspirasi kelompok masyarakat tidak didengar.

Arif menilai, tidak dilibatkannya kelompok masyarakat dalam pembentukan RUU Cipta Kerja membuktikan bahwa pemerintah hanya mengutamakan dan mendengar pendapat dari pengusaha sebagai kelompok yang memiliki kepentingan.

“Dan harus diketahui bahwa masyarakat yang terdampak terhadap rancangan undang-undang omnibus law ini sama sekali tidak didengar bahkan dilibatkan juga tidak, sangat diskriminatif. Pembentukan rancangan undang-undang ini, hanya melibatkan kelompok kelompok kepentingan tertentu, pengusaha.” (red/suara.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.