Aksi massa menuntut Polda dan Kejati Sumut mengusut kejahatan yang dilakukan PT TPL di Tanah Batak/handout
MEDANHEADLINES.COM, Medan – Masyararakat sipil lintas elemen dan lembaga di Sumatera Utara melakukan aksi massa ke kantor Polda dan Kejaksaan Tinggi Sumut. Massa menuntut hentikan semua bentuk kriminalisasi kepada masyarakat adat. Soalnya, konflik agraria selalu memposisikan masyarakat adat sebagai korban dan negara terkesan membiarkan.
Tanah-tanah petani, wilayah dan hutan adat berubah menjadi konsesi perkebunan dan hutan tanaman industri. Ketika izin habis masa berlaku, tidak serta merta tanah kembali dikuasai dan usai masyarakat. Bakumsu, Hutan Rakyat Institute, AMAN Tano Batak, dan KSPPM mencatat ada 12 komunitas masyarakat adat yang tanah dan wilayahnya dikuasai secara turun-temurun kini jatuh ke tangan negara.
Di jaman Orde Baru-Soeharto, hak pengelolaan hutan diberikan kepada PT Inti Indorayon Utama yang sekarang menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sepanjang kehadirannya, perusahaan ini terus-terusan menabung konflik dengan masyarakat. Protes dan tuntutan pengembalian wilayah adat lebih sering berujung kriminalisasi. Seperti yang dialami masyarakat adat Sihaporas di Kecamatan Pematangsidamanik, Kabupaten Simalungun.
Pada 16 September 2019, saat warga sedang berladang, pihak keamanan perusahaan datang lalu meminta warga menghentikan aktivitasnya karena ladangnya masuk konsesi perusahaan. Bentrok dan adu fisik tak terhindari, kedua belah pihak saling lapor. Pihak warga menyebut telah terjadi penganiayaan, satu korbannya adalah anak balita. Sementara PT TPL bilang, terjadi penganiayaan kepada humas perusahaan Bahara Sibuea.
Thomson Ambarita dan Jonny lalu ditetapkan menjadi tersangka. Pimpinan aksi Agus Simamora menuding, laporan polisi Nomor Pol.LP/226/IX/2019/SU/Simal tanggal 16 September 2019 yang dilakukan Bahara Sibuea begitu cepat diproses penyidik Polres Simalungun. Berbanding terbalik dengan laporan polisi Nomor: STPL/84/IX/2019 tanggal 18 September 2019 yang dilakukan Thomson Ambarita.
“Sampai saat ini, laporan Thomson belum dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan,” kata Agus, Kamis (28/11).
Bahara, kata Agus menjelaskan, belum ditetapkan sebagai tersangka meskipun dua alat bukti sudah memenuhi unsur yaitu visum yang dikeluarkan RSUD Tuan Rondahaim Pematangraya dan hasil rekam medik yang dikeluarkan UPDT Puskesmas Pematangsidamanik. Kedua bukti menyatakan, terjadi luka lebam di punggung Thomson akibat pukulan benda tumpul. Kemudian keterangan para saksi yang melihat langsung, mengatakan Bahara telah menganiya Thomson Ambarita.
“Kami menuntut Polda dan Kejati Sumut segera membebaskan Jhoni dan Thomson, menangkap Bahara. Mengkampanyekan perampasan hutan dan wilayah adat, pencemaran lingkungan, dan pengrusakan yang dilakukan PT TPL. Tutup dan cabut izinnya dari Tanah Batak,” timpal Roy Lumbangaol, koordinator aksi. (Rha)