MEDANHEADLINES.COM, Medan – Ratusan massa yang menamakan Konsorsium Pembaruan Agraria menggelar Unjuk rasa menolak Rancangan Undang-undang (RUU)Pertanahan
Mereka menolak mentah-mentah pengesahan RUU Pertanahan itu karena menilai sebagai cara baru negara merampas tanah rakyatnya.
Massa yang awalnya berkumpul di Lapangan Merdeka Medan, melakukan longmarch ke gedung DPRD Sumut. Di sana, mereka melakukan orasi secara bergantian.
Dalam orasinya, massa menyebut RUU pertanahan menjadi ancaman baru bagi tanah masyarakat adat. Karena dalam RUU itu memposisikan perani, masyarakat adat, hutan adat dan wilayah kesatuan adat sebagai objek yang dikesampingkan oleh hukum.
“Negara absen dalam melindungi tanah rakyat. Justru malah menjadi perpanjangan tangan korporasi yang merampas lahan masyarakat,” ungkap koordinator aksi Putra Saptian dalam orasinya.
RUU pertanahan juga dianggap sangat kontraproduktif dengan Undang-undang Pokok Agraria. Bukan malah menambah kepastian hukum, RUU Agraria malah berlaku sebaliknya.
Dalam RUU juga tidak memberikan solusi untuk penyelesaian konflik agraria. Justru malah terdapat pasal yang mengistaratkan jika masyarakat menolak konsesi lahannya dikuasai rentan akan dikriminalisasi.
“Kami menilai secara substansi, RUU ini semakin memudahkan dan memuluskan Indonesia menuju ke arah Neolib Kapitalis yang merampas tanah rakyatnya sendiri. Pengadilan pertanahan bukan solusi. Karena memiliki keterbatasan wewenang dalam konflik pertanahan,” tukasnya.
Bagi para massa, RUU ini hanyalah pemulus perampasan tanah. RUU Pertanahan tidak mengkehendaki adanya penyelesaian konflik-konflik agraria yang dialami petani dan masyarakat adat secara berkeadilan.
Bahkan yang muncul adalah kekuasaan Negara yang berlebihan dengan penyebutan Tanah Negara dalam kebanyakan pasal dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan lewat aturan yang dibuatnya.
Bunyi undang-undang seperti ini dinilai sangat potensial untuk penyalahgunaan dan berpotensi melahirkan “perselingkuhan” Negara dengan pemodal. Bahkan terkesan memberi impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai tanah secara fisik melebihi luasan haknya (Pasal 25 ayat 8).
“Padahal, dari 2,7 juta hektar lahan yang berkonflik karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat. Dan sebagian perusahaan saat ini sedang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ungkapnya.
Massa kembali menegaskan penolakannya pada RUU Pertanahan. DPR RI dianggap terlalu anggap enteng dan terburu-buru dalam perumusan RUU. Apa lagi ini di penghujung masa periodesasi mereka.
“Kami dengan tegas menyatakan tetap menolak. Karena banyak pasal yang kami nilai tidak berpihak kepada masyarakat. Tanah untuk kepentingan masyarkat. Bukan kepentingan para pemodal,” pungkasnya.
Mereka mendorong agar Undang-undang Pokok Agraria yang dijalankan untuk penyelesaian konflik lahan.
Seperti diketahui bahwa sepanjang 2018 ada berbagai letusan Konflik Agraria di Sumatera utara. Hutan Rakyat Institut (HaRI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2014-2018 ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih berkoflik dengan perusahaan perkebunan, dengan luasan sengeketa mecapai 346,648 Ha.
Dari 106 tersebut, 75 kelompiok masyarakat tani dan masyarakat adat masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan, dan 31 kelompok masyarakat tani masih berkonflik dengan perusahaan tanaman industri. Selain itu Lahan HGU dan Eks HGU PTPN II juga menjadi salah satu penyumbang letusan konflik agraria, konflik yang kunjung selesai. Karena melibatkan berbagai aktor anatara lain pengusaha real estate, mafia tanah, maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Menurut catatan KontraS Sumut sepanjang tahun 2013-2017 terjadi setidaknya 53 kasus konflik agraria di sekitaran lahan HGU dan Eks HGU PTPN II.
“Kami menuntut Gubernur Sumatera Utara menyelesaikan konflik ini. Sesuai janjinya di awal periode menjabat. Kami juga menuntut agar tindakan represif dihentikan dalam penyelesaian konflik agraria,” pungkasnya.(red)