MEDAHEADLINES.COM, Medan – Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT) memastikan pembangunan di lahan zona otorita yang berada di Desa Motung, Pardamaen Sibisa dan Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tidak ada menerabas perkampungan masyarakat. Bahkan BOPDT memiliki dua alas hak untuk mengelola tiga desa yang berbatasan langsung dengan zona otorita.
Direktur Utama BOPDT, Arie Prasetyo menerangkan, secara geografis, zona otorita persis di atas tebing bukan di pinggiran danau. Status lahannya bekas kawasan hutan dan tidak ada orang yang bermukim. Isinya hanya ada pohon hutan seperti pinus dan lainnya. Tetapi masyarakat sudah ada yang melakukan usaha hutan kemasyarakatan seperti menanam kopi, alpukat, terong belanda, bambu, beternak lebah madu.
“Sejak 2016, kita sudah melakukan pengecekan ke lokasi. Bahkan, tim terpadu dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat memproses pelepasan lahan sudah meninjau, dan hasilnya cuma ada usaha masyarakat, tapi tidak ada yang tinggal,” kata Arie saat memaparkan status lahan zona otorita di Medan, Selasa (18/9).
Arie menjelaskan, semua lahan yang dilepaskan adalah milik negara dan pengelolaannya diberikan kepada BOPDT. Prosesnya dari mulai kawasan hutan sampai menjadi kawasan bukan hutan. Setelah dilakukan Validasi dan pengecekan di lapangan, kemudian disusun analisi dampak lingkungan (Amdal) sebagai dasar pelepasan. BOPDT lalu melakukan tata batas dan pengecekan ke titik kordinatnya. Langkah selanjutnya dilakukan sosialisasi ke masyarakat bahwa zona otorita akan dilakukan pembangunan.
“Setelah HPL keluar, kita kembali memasang patok dari BPN. Itu sebagai dasar pemerintah sudah memberikan haknya. Jadi, kita memiliki sertifikat HPL di Kabupaten Toba Samosir dan sertifikat yang dikeluarkan BPN,” jelas Arie.
Lantaran ada kegiatan ekonomi masyarakat, lanjut Arie, maka BOPDT sebagai penerima HPL bertanggungjawab menyelesaikan masalah tersebut. Langkah penyelesaiannya, BOPDT mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.
Dalam Perpres Nomor 62 Tahun 2018, Pasal 12 disebutkan, bahwa gubernur dapat mendelegasikan kewenangan penanganan dampak sosial kemasyarakatan kepada bupati atau walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lainnya.
“Jadi langkah itu sudah dilakukan. Kita juga sudah melakukan rapat dengan gubernur dan bupati terkait hal tersebut. Hasilnya, bupati didelegasikan untuk menyelesaikannya,” ujar Arie.
Terkait itu tim terpadu akan dibentuk untuk memvalidasi, memferivikasi, mengecek ke lapangan, dan merekomendasikan berapa besaran jumlah santunan yang akan diberikan.
“Prosesnya dilakukan dengan sangat rigid dan ada aturannya. Karena pembayarannya menggunakan uang anggaran negara. Perhitungan memakai kajian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) independen. Yang terpenting prosesnya sedang berjalan,” ungkapnya.
Ketika disinggung apakah demo di lokasi pembangunan jalan beberapa waktu lalu dikarenakan warga belum menerima santunan, namun pengerjaan sudah berjalan, Arie menjelaskan bahwa proses penghitungan sudah selesai dilakukan dan masyarakat ikut menyaksikan.
“Sebelum proyek ini dimulai, pada Kamis (12/9). Seninnya, saya bersama pak sekda di lokasi telah mengumumkan hasil perhitungan, termasuk jumlah tanaman warga yang terkena dampak proyek. Kita juga menanyakan kepada pemilik apakah berkeberatan, dan jawaban mereka tidak berkeberatan,” kata Arie lagi.
Masih dikatakan Arie, pemilik tanaman yang terkena pembangunan jalan tersebut hanya berjumlah sembilan orang. Dan pemberitahuan pengerjaan akan dimulai telah disampaikan kepada mereka.
“Kami sampaikan bahwa belum bisa membayar secara langsung dengan anggaran pemerintah untuk penggantian, tapi kami akan komit untuk menggantinya, toh perhitungan sudah dilakukan. Saat itu ada pihak ketiga yang diundang menyatakan, jika masyarakat membutuhkan pinjaman uang, maka akan diberikan. Jadi sipatnya pinjaman, seperti ditalangi dulu oleh pihak ketiga,” beber Arie.
Menurutnya, langka itu perlu diambil karena BOPDT komitmen membayar kepada masyarakat yang terdampak, selama prosedurnya sudah ditempuh. Pembangunan ini perlu segera dimulai karena sudah dianggarkan Kementrian PU dan harus dimulai tahun ini. Oleh sebab itu, BOPDT mencari trobosan bagaimana masyarakat tidak dirugikan dan pekerjaan juga tidak terhambat.
“Tujuh dari sembilan orang yang terdampak menyatakan sejutu. MoU terkait itu juga sudah ditandatangi yang disaksikan bupati, sekda, camat, kepala desa, kepolisian, dan masyarakat. Catatannya, setelah ganti rugi diterima, mereka wajib mengembalikan pinjaman ke pihak ketiga,” jelasnya.
Terkait demo, Jumat (13/9) lalu, Arie mengatakan terpaksa menghentikan pekerja karena keadaannya cukup keos. Itu dilakukan untuk mencegah kejadian yang tak diinginkan terjadi di lapangan. Namun, sorenya ia bersama kapolres dan bupati kemudian berbicara dengan masyarakat di warung kopi yang ada di lokasi. Dari situlah disepakati mediasi dilakukan pada Minggu (15/9) sore. Pertemuan dihadiri oleh BOPDT, bupati, kapolres, masyarakat ketiga desa, tokoh agama, angota DPRD Toba Samosir dan tokoh adat.
“Rapat dimulai pukul 16.00 WIB dan selesai 21.30 WIB. Hampir lima jam berdiskusi dan mendengar semua pendapat peserta rapat, akhirnya kesepakatan terjalin. Rapat berjalan cukup demokratis kerena siapa saja diberikan kesempatan untuk berbicara. Poin pentingnya adalah masyarakat menyetujui pembangunan dilanjutkan,” ucap Arie. (AFD)