MEDANHEADLINES – Kecaman keras dilontarkan oleh KontraS Sumut terkait tragedi penembakan mobil yang berisi satu keluarga di Lubuklinggau, Sumatera Selatan pada 18 April 2017. Penembakan yang dilakukan satuan polisi lalu lintas saat sedang menggelar razia dinilai hanya menambah catatan panjang arogansi dan penggunaan kekuatan berlebih-lebihan oleh instansi kepolisian terhadap masyarakat Sipil.
“ Polisi harusnya bertindak lebih humanis,bukan semakin doyan menggunakan cara represif dalam menjalankan tugas,” Ungkap Kordinator KontraS Sumut M.Amin Multazam
Dari data yang dihimpun KontraS Sumut dari berbagai sumber,Lanjut Amin, alasan kepolisian melakukan penembakan didasari atas tindakan pengendara mobil yang menerobos razia petugas. Setelah melakukan pengejaran,Polisi lalu melepaskan tembakan berkali-kali terhadap mobil yang di tumpangi satu keluarga tersebut.dan menyebabkan Surini (55) meninggal dunia karena luka tembak pada beberapa bagian tubuhnya, sementara korban lainnya yakni Diki (29), Indra (32), Novianti (31), Dewi Arlina (35), Genta Wicaksono (3) mengalami luka tembak pada beberapa bagian tubuh dan dalam keadaan kritis
“ Penggunaan senjata api oleh Polisi haruslah mengacu pada Perkapolri No 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, dan Perkapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” jelas Amin
Ia menilai, dalam konteks penembakan di Lubuklinggau, KontraS menilai Polisi justru melupakan kedua peraturan tersebut. Bahwa pihak kepolisian gagal paham menerjemahkan penerobosan yang dilakukan oleh pengendara “mobil biasa” (bukan target operasi/buronan polisi) sebagai satu tindakan yang hanya dapat dihentikan melalui penembakan.
“Sebagaimana pasal 8 ayat (1b) menjelaskan penggunaan senjata api oleh Polisi dilakukan apabila anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut,” paparnya
Amin menanmbahkan,Perlunya diingatkan kembali bahwa semangat pemisahan antara TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri salah satunya adalah agar Polri tidak lagi tampil dalam bentuk dan watak yang militeristik serta mampu bekerja profesional sebagai aparat sipil. Kepolisian adalah pengayom sekaligus pelindung masyarakat yang menjunjung tinggi norma dan demokrasi, serta menegakkan hak asasi manusia.
“ Maka peristiwa yang terjadi di Lubuklinggau ini harus di usut secara objektif dan transparan. Salah satunya dengan mendorong dilakukan investigasi mendalam dengan melibatkan berbagai pihak seperti Komnasham maupun Kompolnas. Kepolisan harus berani menindak tegas personelnya jika memang lalai dan terbukti bersalah, bukan dengan menutupi kesalahan atau mencari ribuan pembenaran atas tindakan penembakan tersebut.” tegasnya
Amin juga mengatakan,penggunaan senjata api belakangan ini dinilai kerap jadi pilihan utama aparat kepolisian dalam menindak pelaku kejahatan.
“ Satu bukti bahwa polisi masih memilih jalan pintas dari pada jalan pantas. Untuk itu, sebagai pimpinan tertinggi, Kapolri dipandang perlu melakukan evaluasi dan audit secara berkala terkait penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian,” tutupnya (rls)