MEDANHEADLINES, – Tepat dua tahun setelah Presiden Jokowi berkuasa (Oktober 2014-Oktober 2016) Polisi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Jakarta Pusat. Operasi tangkap tangan ini terkait pungutan liar (pungli) perizinan yang dilakukan oknum di kementerian tersebut. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan, operasi ini dilakukan pada Selasa (11/10/2016) sekitar pukul 15.00 WIB. Operasi ini dilakukan tim gabungan dari Mabes Polri dan Polda Metro Jaya yang dipimpin langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. Awi menjelaskan, bahwa di lantai enam kantor Kemenhub terdiri dari loket-loket pelayanan tempat masyarakat mengurus perizinan.
Dalam OTT ini, lanjut Awi, petugas menemui praktik pungli oleh oknum petugas Kemenhub di loket Direktorat Perhubungan Laut. (Baca: Polisi Sita Uang Puluhan Juta Rupiah dan Tabungan Rp 1 Miliar Terkait Pungli di Kemenhub). Dari lokasi itu, polisi mengamankan enam orang. Keenam orang itu terdiri dari dua orang PNS Kemenhub, satu orang pihak swasta, dan tiga orang lainnya pegawai harian lepas (PHL) Kemenhub. Dari tangan mereka, polisi menyita uang Rp 34 juta. “Kemudian dari situ kita kembangkan bahwasanya ada aliran dana ke lantai 12, di ruangan kasi (kepala seksi) dan kasubdit. Bahwasanya uang ini mengalir kepada kasi-kasi, yang lagi kita kembangkan aliran dana itu kepada siapa saja, satu per satu akan kita selidiki,” ucapnya. Dari lantai 12, polisi mendapati uang tunai sebanyak Rp 61 juta. Selain itu, polisi juga menyita enam buku tabungan yang berisi uang Rp 1 miliar dan beberapa dokumen terkait perizinan (http://megapolitan.kompas.com/).
Operasi tangkap tangan (OTT) pihak kepolisian tersebut setidaknya menjadi bukti bahwa tindak pidana pungutan liar di kantor-kantor pelayanan pemerintah adalah perbuatan yang tidak pernah berhenti dan seolah kebal dari berbagai upaya perubahan budaya pada aparat yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini. Banyak masyarakat menyambut gembira terkait OTT tersebut, dimana masyarakat sebagai pihak yang menerima pelayanan sejauh ini adalah pihak yang sangat-sangat begitu dirugikan oleh ulah oknum-oknum aparat sipil negara (ASN) yang tidak bertanggung jawab. Sudah menjadi rahasia umum jika pungutan liar (Pungli) adalah merupakan perilaku buruk dari aparatur pelayan publik di hampir seluruh kantor-kantor pelayanan pemerintah. Harapan masyarakat sangat jelas, bahwa OTT di Kemenhub tersebut tentu saja akan berlanjut pada pengawasan dan penangkapan di kantor-kantor kementerian lainnya dan dapat juga berkembang hingga ke birokrasi-birokrasi di daerah.
Satu hal yang paling menarik perhatian terkait dengan OTT di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) adalah keikutsertaan Presiden Jokowi dalam OTT tersebut. Bisa dikatakan Jokowilah satu-satunya Presiden sepanjang Indonesia merdeka yang ikut serta dalam OTT pihak Kepolisian. Keterlibatan Presiden Jokowi dalam OTT di Kemenub tentu tidak sederhana untuk sekedar mencari pencitraan belaka, namun lebih dari itu keterlibatan Presiden dalam OTT tersebut adalah bukti komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Tidak hanya OTT, kita juga masih ingat bagaimana Presiden Jokowi pada bulan Juni tahun 2015 yang lalu turun langsung mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok terkait dengan waktu pelayanan bongkar muat kapal yang sandar di pelabuhan (dwelling time). Sudah menjadi rahasia umum jika banyak orang yang mengetahui jika selama ini waktu bongkar muat di berbagai pelabuhan laut di Indonesia memakan waktu yang cukup lama hingga 6 samapi dengan 7 hari. Presiden Jokowi merasa geram karena saat sidak tersebut, Ia tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pejabat di Pelabuhan Tanjung Priok soal oknum yang memperlambat dwelling time atau waktu tunggu kontainer. Jokowi bahkan mengancam akan mencopot petugas lapangan hingga menteri yang tidak mau memperbaiki kondisi pelabuhan peti kemas. “Kita harus terbuka. Saya tanya, enggak ada jawabannya, ya saya cari sendiri jawabannya dengan cara saya. Kalau sulit, bisa saja dirjennya saya copot, pelaku di lapangan saya copot, bisa juga menterinya yang saya copot,” kata Jokowi saat memimpin rapat mendadak di Pusat Perencanaan dan Pengendalian Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu (17/6/2015) siang (http://www.tribunnews.com/ nasional/2015/06/19).
Jokowi mengaku tak akan pandang bulu dalam mencari pejabat yang tak bisa mencapai target dwelling time menjadi 4,7 hari. Dia menjelaskan petugas lapangan, dirjen, hingga menteri akan menerima konsekuensinya jika tidak juga bisa mempercepat kinejanya. “Harus ngerti, di situ ada ketidakefisienan Rp 780 triliun. Loading dan unloading, bongkar muat, kelamaan karena hal-hal yang bersifat dokumen. Seperti itu meninggikan biaya logistik dan transportasi,” ucap dia.
Penyakit Birokrasi
Berdasarkan data tersebut menggambarkan bahwa reformasi birokrasi yang telah berusia 16 tahun sejak Presiden Megawati mendorong pelayanan publik prima di kantor-kantor pemerintah, kemudian dilanjutkan dengan Presiden SBY dengan penerapan remunerasi telah gagal total dalam praktek dilapangan. Semua Presiden Indonesia setidaknya secara umum memahami bahwa mereka akan memimpin satu birokrasi pemerintahan yang sangat korup dan bermental buruk. Buruknya kinerja birokrasi di Indonesia jelas sudah menjadi rahasia umum dan bahan perbincangan yang tiada habisnya. Bahkan reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Orde Baru Soeharto salah satunya adalah di dorong untuk mereformasi birokrasi pemerintah Orde Baru yang sarat akan tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Itu sebabnya Presiden yang terpilih sejak Pemilu 1999 selalu mengedepankan program atau kebijakan yang mensasar reformasi birokrasi yang salah satu diantaranya adalah membersihkan aparat dari tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Sudah dipahami oleh semua orang jika sekelas Presidenpun di Indonesia tidak cukup mampu untuk melakukan perubahan budaya dalam lingkungan birokrasi negara. Meskipun Presiden-Presiden itu memiliki kewenangan dan otoritas yang luar biasa besar. Namun kehendak untuk melakukan perubahan tentu saja ternyata tidak terhubung dengan otoritas. Kalau tidak punya keinginan untuk berubah, ternyata perubahan tidak akan terjadi. Pada sisi lain organisasi birokrasi pemerintah telah tumbuh menjelma menjadi kekuatan tersendiri yang justru menjadi ‘hantu’ atau ‘momok’ yang menakutkan. Sebab birokrasi dalam kehidupan masyarakat telah menjelma menjadi organisasi ‘penghisap/pemalak’, pungli, korup dan anti pelayanan prima yang justru mengorbankan rakyat yang mestinya mereka layani.
Masalah birokrasi yang tak mampu ditaklukkan pemerintah tentu saja bukan hanya masalah kita di Indonesia saat ini saja. Namun, masalah buruknya birokrasi sudah terjadi sejak empat ratus tahun yang silam atau bahkan lebih lagi. Filsuf Perancis Baron de Grimm menulis, “kita menolak untuk memahami bahwa ada sosok ketidakterbatasan (infinitas) di suatu negara besar yang dnegannya pemerintah sendiri tak mampu mampu memperhatikan”. Bahkan seorang pejabat birokrasi Perancis sendiripun De Goumay mengatakan mengatakan, “di Perancis kita mendapati suatu penyakit yang jelas-jelas merusak kita, penyakit ini disebut bureaumania”. Untuk melengkapi tulisan tersebut, de Grimm melanjutkan, “semangat hukum Perancis yang sesungguhnya adalah birokrasi yang oleh aparaturnya sendiri (De Goumay) sangat dikeluhkan. Inilah para pejabat, jurutulis, sekretaris, inspektorat, kepala dinas (intenden) yang diangkat bukan untuk menguntungkan kepentingan umum. Padahal kepentingan umum itu sendiri ada karena adanya pejabat pemerintah” (Albrow, 2005).
Buruknya pelayanan birokrasi di Indonesia tentu saja tidak bisa terlepas dari para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat yang memimpin aparatur birokrasi. Birokrasi adalah organisasi pelayan publik yang dipimpin oleh Pejabat Politik, apakah Pejabat Politik itu disebut Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati ataupun Walikota. Birokrasi adalah pejabat pemerintah yang proses pengangkatannya dilakukan secara seleksi dengan sistem organisasi yang bersifat karir sehingga pejabat dalam lingkungan birokrasi bukan jabatan politik yang dipilih oleh rakyat. Jadi kekuasaan politiklah yang sesungguhnya memimpin dan sekaligus menentukan baik dan buruknya birokrasi pemerintah. Mental birokrasi adalah suatu organisasi yang bermental patron-kline yang tunduk pada pimpinan. Dwiyanto (2006) menyebut bahwa organisasi ini menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan karena sistem yang yang dibangun oleh organisasi itu sendiri. Corak hubungan budaya paternalisme adalah seperti corak hubungan antara ayah dengan anaknya. Lebih jauh disebutkan bahwa corak hubungan paternalisme ini sebagai dampak dari pengaruh feodalisme yang dalam sejarah memang mewarnai bangsa Indonesia yang banyak dipimpin oleh kerajaan.
Buruknya lingkungan kekuasaan yang belum tampil menjadi organisasi pelayan masyarakat yang prima tentu saja dalam menginternalisasi perubahan mental sebagaimana yang diharapkan Jokowi tidak mudah bahkan bisa dikatakan mustahil. Mustahil jika kita melihat bahwa perubahan akan terjadi selama lima tahun pemerintahan Jokowi. Sebab perubahan mental-budaya bukanlah sesuatu yang mudah yang bisa di ‘sulap’ hanya dalam waktu lima tahun. Kita sadar bahwa organisasi seperti birokrasi sangat rigidi/kaku dan sudah membangun ‘zona nyaman’. Sehingga akan sangat banyak para birokrat/aparatur pemerintah yang saat ini menikmati keuntungan (rente) dari sistem yang birokrasi yang buruk yang akan menolak dan menyembunyikan diri terhadap gagasan perubahan mental-budaya dalam lingkungan birokrasi.
Buruknya birokrasi apakah masih bisa diperbaiki? Tentu saja bisa. Semuanya sangat tergantung kepada pemimpin dan kepemimpinannya. Jelas kepribadian pemimpin sangatlah menentukan dalam membangun kepemimpinan yang efektif. Menggerakkan bawahan ternyata tidaklah sulit semuanya tergantung pada pemimpin. Jenderal Douglas Mac Arthur mengatakan : “tidak ada prajurit yang bodoh, melainkan yang ada adalah Jenderal yang goblok”. Maksudnya adalah, seburuk apapun perilaku birokrasi kita saat ini semua bisa kita perbaiki melalu sang pemimpin. Kalau pemimpin dengan sekuat tenaganya melakukan perubahan pada birokrasi kita pasti birokrasi kita akan berubah.
Dari Tindakan Pribadi Menuju Perubahan Sistem
Tindakan Jokowi dapat membangun birokrasi yang memiliki budaya pelayanan prima patut diapresiasi. Meski tentu saja tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk memberantas pungli yang sudah berurat berakar di lingkungan birokrasi Indonesia.
Bila kita cermati, terdapat pola yang berbeda apa yang dilakukan Jokowi dibandingkan dengan pola Megawati dan SBY dalam membangun budaya pelayanan yang bersih dari KKN pada lingkungan birokrasi Indonesia. Megawati lebih mengandalkan dan mempercayakan melalui aturan main dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan di bidang pelayanan publik. Sementara SBY selain mengeluarkan kebijakan (pelayanan berbasis kinerja/remunerasi, dll) juga tidak ketinggalan berbagai jargon dan kampanye anti KKN di sampaikan masyarakat. Masih segar kita ingat bagaimana Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani mengimplementasikan program berbasis kinerja (remunerasi) di lingkungan kantor pajak. Begitu banyaknya pujian saat program ini diluncurkan, toh..ternyata hasilnya gagal total. Beberapa penelitian membuktikan tidak ada peningkatan pendapatan pajak dari program remunerasi tersebut. Lebih ironi saat program sedang berjalan Gayus Tambunan seorang aparat pajak tertangkap sedang membantu perusahaan-perusahaan besar memanipulasi pajak.
Saat Jokowi hari ini, semuanya dilakukan secara pribadi. Mungkin Jokowi satu-satunya Presiden yang kerap mempertontonkan tindakan pribadinya terlebih dahulu baru kemudian membangun aturan mainnya (sistem). Setidaknya tindakan-tindakan blusukan, kunjungan mendadak (sidak), hingga operasi tangkap tangan (OTT) adalah bukti bagaimana pola Jokowi dalam membangun budaya ‘bersih’ di lingkungan birokrasi.
Lihat, setelah operasi tangkap tangan di Departemen Perhubungan, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SABER PUNGLI). Presiden kemudian menunjuk Wiranto (Menko Polhukkam) sebagai Ketua Satgas Saber Pungli tersebut. Menkopolhukkam Wiranto kemudian menindaklanjuti dengan mengeluarkan Kepmen Menkopolhukkam 78/2016 tentang Satgas Saber Pungli yang dilanjutkan dengan melantik empat pimpinan dan 224 anggota Satgas Saber Pungli (28/10/16). Anggota Satgas Saber Pungli sendiri terdiri dari unsur Polri, Kejaksaan Agung, Kemendagri, Kemenkumham, PPATK, Ombudsman, BIN dan Polisi Militer. Dari terbentuknya Satgas Saber Pungli di tingkat pusat kini Satgas serupa juga dibentuk di daerah-daerah.
Efektif atau tidaknya tindakan seperti itu tentu saja akan kita uji dilapangan dan dengan waktu. Pada saatnya akan kelihatan apakah tindakan atau kebijakan saber pungli tersebut dapat mencapai sasaran seperti yang dituju. Semua orang pasti sangat gembira dengan hilangnya pungli dalam kehidupan kita di Indonesia. Bayangkan tidak ada satupun tempat di Indonesia yang bebas dari pungli. Seolah pungli sudah kita terima secara sadar menjadi bahagian dari pola hubungan dalam kehidupan kita saat ini. Padahal kerugian yang ditimbulkan oleh pungli sungguh-sungguh sangat luar biasa. Jika di pelabuhan saja nilai kerugiannya mencapai 700 trilyun pertahun, bagaimana dengan diberbagai kementerian, pemerintahan daerah, hingga kantor kepala desa dan kelurahan? Ribuan trilyun uang rakyat di pungut secara liar dan hanya masuk ke kantong-kantong pribadi belaka. Bahkan kalau kita hitung kerugian ikutannya semakin mengerikan. Sebab dengan punglilah harga-harga barang menjadi semakin tinggi di pasar yang jelas-jelas merugikan rakyat itu sendiri.
Bahkan saat sekolah dahulu, banyak dosen-dosen yang selalu mengetengahkan cerita tentang ‘Jeruk Medan’ untuk menggambarkan bagaimana pungli terjadi dan dampaknya bagi petani di Tanah Karo Sumatera Utara. Jeruk Medan adalah jeruk yang ditanam dan dihasilkan oleh petani di Tanah Karo. Dari Tanah Karo jeruk ini kemudian dijual di Jakarta. Dari Tanah Karo jeruk di kirim ke Kota Medan, kemudian dikirim dengan truk ke Jakarta menyusuri jalan-jalan di sepanjang kota-kota besar di Pulau Sumatera. Hasil penelitian membuktikan bahwa Jeruk Medan asal Tanah Karo ini telah di pungli sebanyak lebih dari 20 kali sepanjang perjalannnya. Akibatnya ketika tiba di Jakarta harga Jeruk Medan menjadi mahal. Bayangkan tiba-tiba datang Jeruk dari Bangkok (Thailand) yang langsung masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok hanya melewati sekali cukai saja. Akibatnya harga Jeruk Bangkok yang impor lebih rendah dari harga Jeruk Medan. Jeruk Medan kalah bersaing bukan karena kualitas tetapi karena pungli yang luar biasa. Jelas, cerita tersebut bukan cerita untuk masa lalu saja, melainkan mungkin saja tetap lestari hingga saat ini dengan komoditi dan bentuk yang lain. Intinya, jika pungli hilang tentu masyarakat akan bahagian dan perekonomian tentu saja akan terdampak secara positif.
Pembangunan Mental Aparatur Sipil Negara (ASN)
Belajar dari Pemerintahan Megawati dan SBY yang jelas-jelas telah gagal dalam membangun budaya pelayanan birokrasi yang bersih dari KKN di Indonesia adalah sangat penting. Jika Jokowi hanya mengandalkan tindakan pribadi kemudian membangun sistem (kebijakan) namun lupa membangun mental pejabat dan aparatur birokrasi (ASN) maka besar kemungkinan hasilnya akan kembali seperti pada pemerintahan Megawati dan SBY. Sudah merupakan hukum alam jika perubahan mental adalah hal yang utama dalam membangun bangsa. Revolusi mental tentu saja tidak akan mungkin diserahkan kepada petugas saber pungli belaka. Petugas saber pungli betapapun adalah orang biasa juga yang belum terjamin integritasnya. Tentu saja perlu pembuktian di lapangan bagaimana kinerja mereka.
Pembangunan mental adalah pembangunan yang mestinya dengan sadar dilakukan oleh Presiden sejak dini. Pembangunan mental tentu saja di mulai dari Presiden Jokowi sendiri. Dari Presiden kemudian turun ke Menteri. Pembangunan mental tentu saja mesti terbebas dari seluruh jerat politik, ekonomi, kelompok, dan tekanan baik dalam maupun luar negeri. Jadi pembangunan mental aparatur sama dengan bagaimana Presiden memimpin birokrasi dengan mengesampingkan tekanan politik yang ada disekelilingnya termasuk sejak dalam rekruitmen pejabat-pejabat negara apakah itu Menteri, Kapolri, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, KPK dan lainnya. Tekanan dan motif politik tentu saja adalah batu sandungan dalam pembangunan mental di Indonesia. Sudah sejak lama birokrasi kita tersandera dan terbelenggu oleh kepentingan politik dan kelompok serta tekanan asing.
Pembangunan mental adalah suatu proses yang terus menerus dilakukan oleh pemimpin untuk membangun terwujudnya budaya (kebiasaan) dalam bersikap positif yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Pada konteks birokrasi kita membutuhkan aparatur pemerintah (birokrat) yang jujur, bersih KKN, terbuka, dan responsif terhadap rakyat yang mereka layani. Sikap perilaku dan kebiasaan itulah yang penting untuk kita wujudkan. Apakah pembentukan SABER PUNGLI akan melahirkan budaya? Bisa bisa juga tidak. Teori tentang penjara yang akan mengubah periaku orang jahat, banyak yang tidak terbukti. Bahkan banyak orang yakin bahwa hukuman mati sekalipun kepada para bandar narkoba tidak akan mengurangi peredaran narkoba di Indonesia. Artinya penjara tidak melahirkan efek jera kepada pelaku ataupun calon pelaku. Tetap saja yang paling hakiki adalah perubahan mental atau kebiasaan. Sebab kebiasan yang buruk yang sudah terkristal membatu tentu saja adalah tantangan utamanya.
Menurut Herry Priyono (2014), mengapa ada orang tetap bisa konsisten dengan sikap dan perilakunya? Sikap seseorang termasuk konsistensinya sebagian besar ditentukan oleh kebiasaan (habitus). Habitus perilaku manusia sulit berubah terlebih pada orang yang semakin menua. Banyak pemimpin mengandalkan nalar, pikiran cerdas dan kalkulasi yang tinggi. Namun jauh lebih menentukan adalah habitus kepemimpinannya. Habitus kepemimpinan baik adalah kebiasaan kebiasaan perilaku memimpin yang secara instingtif tertuju pada kemaslahatan orang biasa dan kebaikan bersama, tegas-dialogis, cemburu merawat kebhinnekaan, merawat lingkungan hidup, tidak korup, tidak meremuk hak azasi, tidak militeristik dan menggunakan kekerasan, dan seterusnya.
Penutup
Jelas bahwa untuk merubah mental, kita butuh perubahan mental pemimpin terlebih dahulu. Kesungguhan pemimpin dalam merubah mental bawahannya adalah seperti tetesan air yang jatuh ke batu. Butuh waktu dan proses yang panjang demi suatu perubahan yang pasti. Kebijakan Saber Pungli kita apresiasi, namun masalah pembangunan mental tidak sesederhana yang kita pikirkan hanya menyangkut perubahan aturan main.
Penulis,
Dadang Darmawan, M. Si
Dosen pada DIA FISIP USU