Antisipasi Politisasi Identitas Jelang Pemilu 2024, Dewan Pers Desak Media Terapkan PPIK

Diskusi publik yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan International Media Support (IMS) di Hotel Gren Alia Jakarta, Selasa (10/10/2023). (Foto: Istimewa)

MEDANHEADLINES.COM, Jakarta – Dewan Pers mewaspadai agar media tidak mengumbar politisasi agama jelang masa kampanye Pemilu serentak pada 2024. Seperti yang terjadi pada saat Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. Masyarakat Indonesia mengalami polarisasi akibat derasnya politisasi agama. Dan tak jarang media turut meramaikannya, sehingga terjadi berbagai praktik diskriminasi, intoleransi, kriminalisasi sampai persekusi.

Kelompok minoritas agama atau kepercayaan dan keyakinan, termasuk perempuan atau minoritas gender lainnya rentan menjadi korban politisasi identitas. Melihat situasi tersebut, Dewan Pers mendesak media agar tidak mengulangi kesalahan di Pemilu sebelumnya.

Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) adalah aturan yang diterbitkan Dewan Pers di akhir 2022. Instrumen ini diharapkan oleh Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Paulus Tri Agung Kristanto mampu menjadi panduan bagi kalangan jurnalis dan media dalam memberitakan isu-isu terkait kelompok minoritas.

“PPIK ini harus menjadi oksigen yang mengalir dalam darah wartawan Indonesia dan mewarnai hidup pers Indonesia,” kata Tri Agung yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, dalam diskusi publik yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan International Media Support (IMS) di Hotel Gren Alia Jakarta, Selasa (10/10/2023).

Oleh karena itu, lanjut Tri Agung, PPIK juga menjadi salah satu materi dari peraturan yang disampaikan ketika Dewan Pers menggelar uji kompetensi terhadap wartawan atau jurnalis (UKW/UKJ) di 34 provinsi.

“Setelah menggelar di 34 provinsi, Dewan Pers masih menambah uji kompetensi wartawan ke daerah lainnya dengan selalu menyertakan PPIK sebagai salah satu materi,” ucapnya.

Pentingnya aturan baru ini bagi kerja-kerja jurnalis turut disampaikan Shinta Maharani, jurnalis TEMPO yang sekaligus membidangi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia. Menurutnya, masih banyak pemberitaan media yang sepenuhnya belum setia pada Kode Etik Jurnalistik ketika meliput isu kelompok rentan, termasuk minoritas agama atau kepercayaan dan keyakinan.

Dalam diskusi publik bertema PPIK Jelang Pemilu Serentak, Shinta menyampaikan bahwa masih banyak jurnalis yang belum tahu cara memverifikasi secara ketat atau berlapis saat meliput kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi.

“Jurnalis kurang gigih dalam memverifikasi informasi. Belum semua media massa taat pada pemenuhan jurnalisme berperspektif hak asasi manusia, membela korban dan kritis pada kekuasaan sebagaimana menjadi semangat dari PPIK,” ungkapnya ketika merespon pertanyaan Saidiman Ahmad, Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting selaku moderator diskusi.

Shinta menjelaskan, temuan tersebut berbasis data assessment atau survei yang menggunakan indikator PPIK SEJUK terhadap 12 media. Media tersebut terlibat dalam liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah yang digelar SEJUK-IMS dan dia menjadi salah satu mentornya.

“Liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah yang mengacu pada aturan Dewan Pers PPIK berdampak positif bagi gereja-gereja yang diliput. Salah satunya adalah gereja di Samarinda, GPdI Bengkuring, yang diangkat oleh Kaltimtoday.co. Kemenag setempat sedang memproses pemberian rekomendasi untuk penerbitan izin GPdI Bengkuring,” katanya.

Gereja-gereja lain, lanjut Shinta, juga mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah lewat liputan kolaborasi ini.

Pada kesempatan yang sama, Manajer Program SEJUK, Yuni Pulungan menjelaskan bahwa PPIK harus menjadi aturan Dewan Pers yang tidak sekadar diterbitkan, tetapi implementasinya penting untuk dikawal bersama mengingat tren diskriminasi, intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas terus terjadi. Dan media tidak banyak memberi ruang pemberitaan pada isu ini.

“Media massa tidak menganggap penting isu keberagaman. Kalaupun memberitakan, jurnalis dan medianya lebih menyampaikan peristiwa saja lewat narasumber-narasumber resmi tanpa mempertimbangkan dampak pemberitaan terhadap korban. Karena itu, SEJUK mengajak 12 media di berbagai wilayah membuat kolaborasi liputan bertema #SemuaBisaBeribadah sebagai salah satu cara untuk menerapkan PPIK di media,” ucap Yuni di hadapan lebih dari seratus peserta.

Yuni menegaskan bahwa SEJUK berkomitmen mendorong pelembagaan PPIK bersama Dewan Pers di media-media melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di daerah maupun nasional. Media harus menjadi ruang aman bagi minoritas agama, kepercayaan, gender dan seksualitas. Kemudian masyarakat adat, disabilitas serta orang pada wilayah dan kondisi tertentu yang rentan.

Kegiatan-kegiatan SEJUK meliputi training jurnalisme keberagaman untuk kalangan jurnalis, kunjungan dan dialog media yang melibatkan kalangan editor dan pemegang kebijakan media. Berikutnya media gathering atau FGD yang bersama editor di media, pemberian beasiswa liputan buat jurnalis, grant liputan kolaborasi untuk media, serta mengajak dan melibatkan kelompok minoritas, korban dan masyarakat sipil untuk aktif dan proaktif dengan jurnalis dan media demi memastikan PPIK menjadi acuan jurnalis dan media dalam memberitakan isu keberagaman.

“Menjelang masa kampanye yang dimulai bulan depan, semua pihak harus mendorong penerapan PPIK di media-media agar Pemilu 2024 menjadi ajang yang ramah dan membahagiakan untuk semua orang,” ungkapnya.

Pemimpin Redaksi Kaltimtoday.co Ibrahim Yusuf yang hadir dalam diskusi menegaskan keharusan jurnalis setia pada PPIK dan berusaha menerapkan indikator-indikator yang sudah dirumuskan SEJUK. Berkaca pada pengalaman Kaltimtoday.co sebagai salah satu media yang terlibat dalam liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah, Ibrahim mencermati bahwa isu keberagaman di Kalimantan Timur (Kaltim) sebelumnya tidak mendapat perhatian dari media.

Kendati jurnalisnya ketika meliput kasus-kasus diskriminasi terhadap gereja di Samarinda mendapat ancaman, pemberitaan isu keberagaman dengan setia pada PPIK menjadi tantangan media di Kaltim untuk terus memberi tempat bagi mereka yang tidak bisa bersuara agar dapat beribadah dengan tenang tanpa tekanan dan ancaman.

“Kami di Kaltim sadar benar, ketika meliput isu keberagaman, maka perspektif jurnalisnya harus beres. Meskipun intimidasi dialami wartawan kami ketika meliput gereja-gereja yang mengalami diskriminasi dari kelompok intoleran, kami tetap bertekad mengawalnya,” ujarnya.

Berikut adalah aturan baru Dewan Pers yang harus menjadi pegangan jurnalis dalam meliput isu-isu diskriminasi terhadap kelompok marjinal:

Mukadimah

Keberagaman telah berakar sejak Republik Indonesia didirikan sehingga wartawan Indonesia perlu memahaminya dengan baik. Namun pada kenyataannya masalah keberagaman ini belum dapat dikelola dengan baik.

Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjamin bahwa setiap orang mendapat perlakuan sama dalam menjalankan agama atau keyakinan dan mengekspresikan dirinya. Dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Dalam pemberitaannya, pers berkewajiban untuk menghormati hak tersebut, terlepas dari latar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dan gender secara adil dan setara.

Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Wartawan dalam mengawal fakta keberagaman wajib menghargai kebinekaan yang telah diatur dalam Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam memberitakan isu konflik, pers semestinya tidak hanya menginformasikan tetapi juga mendidik publik. Untuk itu, pers perlu memiliki sikap hormat terhadap keberagaman yang tercermin mulai dari pemilihan ide dan pelaksanaan liputan hingga penulisan berita.

Pedoman ini diharapkan menjadi rujukan bagi pers dalam memberitakan isu keberagaman, sehingga pemberitaan pers tidak memuat prasangka, kebencian, dan mengobarkan konflik. Dengan pedoman ini, pers dapat berkontribusi untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

1. Ruang Lingkup

a. Pengertian tentang Pers, Kemerdekaan Pers, dan Wartawan dalam pedoman ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

b. Pemberitaan adalah kegiatan merencanakan, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi yang dilakukan oleh wartawan dengan menggunakan berbagai saluran yang tersedia.

c. Keberagaman adalah segala hal yang terkait dengan perbedaan identitas berdasarkan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dan gender.

2. Dasar Pemberitaan Keberagaman

a. Menjunjung tinggi konstitusi dengan menggunakan prinsip-prinsip HAM dan gender.

b. Menaati Kode Etik Jurnalistik.

c. Mengutamakan kemanusiaan dengan memperhatikan kelompok rentan, disabilitas, orang pada wilayah tertentu dan orang dengan kondisi tertentu.

3. Pemilihan Topik Liputan

a. Mempelajari latar belakang peristiwa terkait dengan isu keberagaman.

b. Memiliki sensitivitas dan mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi ketika memberitakan isu keberagaman.

c. Menghormati kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik.

4. Pemilihan Narasumber dalam Liputan

a. Memilih narasumber yang relevan.

b. Bersikap kritis dengan mengedepankan empati.

c. Melindungi identitas korban, pelaku, saksi, dan keluarganya.

5. Produksi Pemberitaan

a. Menghindari diksi, suara, gambar dan grafis yang merendahkan, menghina, menampilkan stereotipe dan menyebarkan prasangka terhadap suatu kelompok, serta mendorong kebencian dan pelabelan negatif.

b. Menjaga akurasi, melakukan verifikasi serta keberimbangan.

c. Menghindari judul yang sensational dan provokatif, serta mempertimbangkan dampaknya.

d. Memberikan atribusi yang tepat dan relevan.

e. Menghindari kutipan yang berisi ujaran kebencian.

f. Menyebutkan keterangan waktu dan tempat yang jelas saat menampilkan materi dari arsip.

g. Menghindari kutipan yang merupakan pesan (narasi) internal suatu kelompok tanpa verifikasi.

Akses Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) lewat link ini: https://sejuk.org/category/panduan-jurnalis/ (Red/Ril)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.