Pakar Geologi dan Geoteknik BRIN Prof Danny Hilman Natawidjaya/ Handout
MEDANHEADLINES.COM – Pakar Geologi dan Geoteknik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Danny Hilman Natawidjaya menjelaskan, Indonesia secara geografis terletak pada jalur patahan aktif yang membentang dari Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga Papua.
Meski demikian, pada dasarnya tidak ada larangan untuk membangun konstruksi di mana pun,
dengan syarat konstruksi dibangun sesuai standar kualitas bangunan dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, untuk memastikan kekuatan struktur bangunan mampu mengantisipasi potensi gempa.
Hal ini disampaikan Danny saat memberikan pendapat ahlinya pada sidang lanjutan gugatan
terhadap izin lingkungan yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) untuk PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (5/7).
Peneliti ahli utama di BRIN dan saat ini menjabat Ketua Kelompok Kerja Geologi di Pusat Studi
Gempa Nasional (PUSGeN) di bawah Kementerian PUPR untuk melakukan pembaruan Peta Seismic Hazard di Indonesia, menegaskan, tidak ada larangan jika membangun konstruksi di
atas patahan. Hanya saja, kekuatan bangunan harus dijamin baik dari konstruksi dan desain mampu menahan potensi gempa.
Sekedar informasi, di Provinisi Sumatera Utara, terdapat beberapa terowongan bawah tanah. Salah satunya di Kabupaten Dairi untuk mendukung operasional PLTA Lau Gunung yang menyuplai energi ke sekitar 10.000 rumah tangga. Terowongan ini memanjang sampai Kabupaten Karo sejauh 1,6 kilometer dan telah beroperasi sejak 2020.
Berkaca pada banyaknya perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang sudah mendirikan
bangunan di wilayah berpotensi gempa, sekali lagi ditegaskan, tidak ada larangan mendirikan
bangunan, termasuk bendungan dan terowongan bawah tanah yang dekat dengan patahan atau
sesar. Sepanjang konstruksi bangunan mengikuti standar dan kualitas yang ditetapkan
pemerintah.
Dalam persidangan tersebut, Danny mendapat pertanyaan: apakah pengeboran dapat memicu
terjadinya gempa. Danny menegaskan bahwa kegiatan pengeboran maupun peledakan
menggunakan bahan peledak seperti dinamit tidak dapat memicu terjadinya gempa di satu titik
patahan.
“Tindakan pengeboran maupun kegiatan peledakan dalam suatu kegiatan pertambangan tidak
dapat memicu terjadinya gempa,” kata Danny, dikutip dari rilis, Rabu (12/7).
Pandangan ahli ini mementahkan opini yang terus disuarakan kalangan tertentu yang menyebut aktivitas pertambangan memicu terjadinya bencana, khususnya gempa bumi. Terkait hal ini, majelis hakim pada perkara a quo mempertanyakan apa alasan ahli menyatakan bahwa pengeboran tidak ada kaitannya dengan terjadinya gempa.
Danny menjelaskan, gempa tektonik terjadi karena akumulasi energi elastic di dalam lempeng
bumi. Bahkan, katanya, para ahli kegempaan dalam mengkaji potensi gempa justru
melakukan pengeboran persis di titik zona patahan atau sesar. Apakah waktu terjadinya pergeseran lempengan dapat diperkirakan, tanya majelis hakim lebih lanjut.
“Itu yang perlu dipelajari karena terdapat siklus alam. Teknologi modern saat ini masih sulit
memprediksi secara akurat,” ucapnya.
Pertanyaan dari kuasa hukum Penggugat mengenai gempa picuan, Danny menjawab bahwa gempa picuan terjadi akibat gempa yang terjadi lebih dulu di lokasi lain. Kembali ditegaskannya, aktivitas manusia tidak akan dapat memicu terjadinya gempa, termasuk kegiatan pertambangan tidak dapat mempengaruhi potensi atau memicu terjadinya gempa di suatu titik. Gempa picuan bergantung pada seberapa besar energi yang sudah terakumulasi secara alamiah dalam zona patahan gempa.
PT DPM menghormati aspirasi yang disampaikan masyarakat, termasuk menghormati proses
hukum yang sedang berjalan. Karenanya, perusahaan selalu membuka pintu komunikasi.