Sumut  

Desa Sejahtera Astra di Bandar Khalipah Mampu Perkenalkan Kembali Songket Deli

Pembuka Program Desa Sejahtera untuk Songket Deli di Bandar Khalipah, Irfania Ramadhani Lubis.

MEDANHEADLINES.COM, MEDAN – Indonesia memiliki berbagai macam warisan budaya yang mengandung nilai estetika tinggi dan sarat akan makna. Satu di antaranya adalah kain tenun. Bahkan hasil tenunan tradisional di beberapa daerah sudah dikenal sampai ke luar nusantara. Seperti kain tenun Songket khas Suku Melayu.

Pada zaman dahulu, kain Songket hanya digunakan oleh para sultan, kerabat dan kaum bangsawan. Baik dikenakan sehari-hari maupun pada acara tertentu. Di masa itu, kain tenun ini termasuk barang mewah. Corak, warna dan cara mengenakannya adalah simbol dan identitas pemiliknya. Sultan selalu memakai songket kuning dengan benang emas yang diartikan lambang kemegahan dan kejayaan.

Fenomena itu juga terjadi di masa Kesultanan Deli, sehingga namanya dikenal dengan Songket Deli. Meski tidak masuk dalam struktur Pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, kerajaan Islam yang lahir pada 1632 itu, masih ada. Kini wilayahnya berada di Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. Bersinggasana di Istana Maimun, Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam yang berusia muda memimpin Puak Melayu Deli.

Masuk ke dalam keluarga brokat, songket ditenun dengan tangan menggunakan benang emas, perak dan benang logam untuk memunculkan kilau yang berpendar. Benang diimpor dari China dan India, atau ditenun dengan benang yang dihasilkan dari ulat sutera. Mengingat bahan bakunya mahal dan fungsinya penting, pembuatan kain yang hanya ditenun anak dara ini di pusatkan di istana.

Seiring perubahan zaman, banyak pula warisan budaya punah. Sisa-sisa peninggalan banyak yang dibiarkan rusak di makan waktu. Jadi kenangan atau dilestarikan dengan pembaharuan yang mengikuti era. Hanya sedikit yang terpanggil untuk meninggalkan sejarah baru.

Salah satunya adalah Tengku Syarfina. Ia mendirikan Yayasan Khazanah Warisan Melayu Deli pada April 2014, untuk menjaga peninggalan leluhur agar tak hilang di makan lupa. Perempuan penyuka songket dan tekstil tenunan itu, kemudian menurunkan jiwa dan perlawanannya kepada sang putri, Irfania Ramadhani Lubis.

Wanita yang akrab disapa Fani itu melahirkan merek dagang IR & IR Songket Deli pada 2016. Brand berbasis sociopreneur, merevitalisasi, memproduksi dan melakukan inovasi kriya. Songket tetap ditenun ala tradisi oleh perempuan-perempuan sabar dan ulet di Jalan Kutilang Nomor 2, Kelurahan Bandar Khalipah, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deliserdang.

Fani adalah lulusan animasi Universitas Bina Nusantara. Produksi CV IR Kriya Melayu mengombinasikan tradisional dan modren. Dua tahun menjadi animator freelance menjadi bekal munculnya produk-produk indah yang kental nilai budaya, filosofi dan layak dibanggakan.

Ratusan motif dihasilkan dan yang paling diminati yaitu: anggrek bulan, balong ayam, tampuk gelugor, bunga kopi, daun tembakau, jagung, ulam raja, Istana Maimun dan Tirtanadi.

Anak ketiga dari empat bersaudara yang bercita-cita menjadi animator film ini, adalah orang yang membuka program Desa Sejahtera Astra (DSA) untuk Songket Deli di Bandar Khalipah. Membuka lapangan kerja masyarakat sekitar tanpa membedakan usia, menjadi penenun dengan upah tinggi. Jauh dari penghasilan membersihkan sarang walet yang menjadi tambahan penghasilan kaum ibu di desa yang berjarak sekitar 20-an kilometer dari pusat Kota Medan ini.

“Awalnya di 2017, menang program Astra bidang wirausaha untuk wilayah Sumut. Terus, 2019 dipercaya Astra mengelola dana CSR di program DSA. Sampai hari ini berjalan, kita sudah punya delapan mesin tenun,” kata Fani, akhir November 2022 lalu.

Enam desa bergabung dalam program ini: Desa Bandar Klippa, Bandar Khalipah, Sei Rotan, Bandar Setia, Tembung dan Percutseituan. Pada 2022 ini, bertambah satu program yaitu pelatihan khusus penenun cilik. Menjadi ruang kreasi milenial dan Gen Z menyalurkan bakat dan kesenangan, lahir motif-motif kekinian seperti kaktus, kupu-kupu, bunga sakura dan lainnya.

“Kita berdayakan teman-teman yang sudah terlatih untuk bekerja sama. Sekarang, ada lima penenun muda, masih SMP. Usaha ini bukan untuk saya sendiri, tapi untuk banyak orang,” katanya.

Novi, perempuan yang sudah delapan tahun bergabung dengan CV IR Kriya Melayu sebagai marketing menambahkan, keinginan menyejahterakan perempuan lewat tenun dan menjaga warisan suku bukan hal mudah. Mereka memulainya dari mengubah pola pikir bahwa memintal sehelai demi sehelai benang menjadi kain, mewarnainya, menghiasinya dengan corak, tidak sukar jika mau belajar.

Yuni, penenun senior membenarkan ucapan Novi. Lahir dari keluarga penenun di Batubara, ibu tiga anak ini, menambah pundi-pundi keluarganya dari songket. Setiap bulan, dia bisa mengantongi upah Rp 3 juta-an lebih.

“Tujuh tahun bergabung, Alhamdulillah, ekonomi keluarga terbantu. Semoga semakin banyak orang yang mencintai songket Deli. Anak-anak mudanya mau belajar menenun,” ucapnya.

Kembali ke Novi, ditanya makna dari motif-motif yang menghiasi kain berwarna-warni. Dia menjelaskan, anggrek bulan adalah simbol kemewahan, rasa cinta dan keindahan. Untuk kain berukuran 200 x 100 sentimeter, berbahan dasar polyster rayon dengan pewarna sintetis, waktu pengerjaannya sampai dua-tiga minggu.

“Harganya mulai Rp1,2 juta sampai Rp1,5 juta,” ucapnya tersenyum.

Motif balong ayam terinspirasi dari bunga Celosia Cristata yang sangat familiar bagi orang Melayu zaman dahulu karena banyak tumbuh di halaman rumah dan berkhasiat untuk kesehatan. Tampuk gelugor terinspirasi dari bentuk buah gelugur yang banyak tumbuh di Tanah Deli, biasanya dikreasikan orang Melayu menjadi manisan. Motif bunga kopi dari bentuk bunga kopi yang menjadi salah satu tanaman unggulan yang tumbuh di Tanah Deli.

“Banyak diekspor ke luar Sumatera melalui jalur perdagangan yang diciptakan Inggris dan Belanda di tanah semenanjung. Sama seperti tembakau, kopi juga memberikan kontribusi pada pembangunan di Tanah Deli,” imbuhnya.

Motif daun tembakau datang dari bentuk daun tembakau Deli yang terkenal sampai hari ini. Komoditi unggulan ini terbaik di dunia, digunakan untuk membungkus cerutu. Motif ini menjadi simbol kemakmuran dan kejayaan. Sedangkan daun kenikir atau Cosmos Caudatus, biasa disebut orang Melayu sebagai ulam raja. Menjadi ulam atau lalapan raja karena mengandung banyak khasiat terutama menyehatkan darah.

“Motif Istana Maimun dan Tirtanadi, terinspirasi dari istana yang menjadi rumah sultan, sedangkan Tirtanadi adalah ikon Kota Medan,” kata Novi.

Rata-rata, untuk kain berbahan dasar polyster rayon yang menggunakan pewarna sintetis berukuran 200 x 100 sentimeter, waktu pengerjaannya dua sampai tiga minggu. Harganya dimulai dari Rp500.000-an sampai Rp1,9 juta-an. Meski sempat terdampak pandemi Covid-19, produksi IR & IR Songket Deli dalam sebulan bisa sampai 100 helai lebih.

Soal motif, tidak lagi digambar dengan tangan. Fani menggunakan digital design sebagai panduan penenun. Corak-corak legendaris seperti pucuk rebung, rumput raja, limau sekupang dan lembayung raja direproduksi ulang menjadi lebih apik. Calon pembeli juga bisa memilih motif dan warna sesuai keinginannya. Teknologi membuat pekerjaan para penenun lebih efisien, mengurangi risiko kesalahan pula.
Pasar Songket Deli tak lagi Indonesia, sudah luar negeri. Peminatnya tak hanya kaum tua, para milenial pun suka. Mulai kelas masyarakat biasa, sampai pejabat punya nama.

“Sekarang, orang sudah tahu, Songket Deli. Dulu yang dikenal cuma Songket Batubara dan Palembang saja. Semoga semakin dikenal, banggalah menjadi generasi muda yang menjunjung adat dan warisan leluhur karena kita hidup dari sejarah…” pungkasnya. (FAD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.