Sumut  

Penyiksaan Semakin Kelam, Kerangkeng Manusia Langkat dan Bukti Pejabat SIpil Terlibat Penyiksaan

 

MEDANHEADLINES.COM – Setiap Tanggal 26 Juni ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Korban Penyiksaan oleh PBB sejak 1987 lalu. Di Indonesia, lebih dikenal sebagai Hari Anti Penyiksaan.

Hal ini merupakan wujud penghormatan terhadap konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Hari anti penyiksaan dijadikan pula sebagai ruang kampanye menentang praktek penyiksaan oleh masyarakat atau pun lembaga yang concern dengan kasus-kasus penyiksaan.

Untuk itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang selalu aktif melakukan advokasi dan memonitoring penyiksaan di Sumut rutin menyuarakan isu tersebut disetiap tahunnya. Apalagi di daerah ini, kasus penyiksaan masih rutin terjadi.

Rahmat Muhammad Staaf Kajian dan Penelitian KontraS Sumut mengungkapkan bahwa dari data yang dihimpun sejak Juni 2021-2022 mencatat ada 13 kasus penyiksaan yang yang terjadi di Sumut. Angka ini jauh lebih meningkat dari tahun sebelumnya, dimana pada Tahun 2021, kami menerima 8 pengaduan kasus penyiksaan.

“Secara angka mungkin tidak signifikan, tetapi sesungguhnya bisa lebih dari itu, hanya saja praktek penyiksaan biasanya terjadi dalam ruang yang gelap (ruang introgasi), tidak ada saksi dan sulit mencari bukti, selain itu adapula keengganan korban untuk mengungkapakan kasus itu.” Tegas Rahmat

KontraS melihat, bahwa sesuguhnya penyiksaan hampir setiap hari terjadi, kepolisan masih menggunakan cara-cara kuno dalam mencari alat bukti, mengejar pengakuan dalam proses penegakan hukum seperti penangkapan, introgasi, atau bahkan penghukuman yang kejam dalam tahanan masih umum terjadi.
Oleh sebabnya catatan kami, Kepolisian masih menjadi aktor yang sering melakukan itu.

“Negara modern sudah meninggalkan praktek penyiksaan, penggunaan cara ini dalam proses hukum di indonesia menandakan bahwa penegakan hukum kita masih usang, dengan diratifikasinya Convenan Againt Torture menjadi UU No. 5 Tahun 1998 sudah sepatutnya kita meninggalkan praktek in” Kata Rahmat

Rahmat menambahkan, Sesungguhnya kepolisian juga memiliki instrumens yang ketat dalam proses penyelidikan dan penyidikan, selain itu mereka memiliki Perkap No. 8 tahun 2009 Tentang Implementasi HAM yang membatasi ruang gerak pelanggaran HAM dalam tindakan mereka, tetapi tetap saja mengejar pengakuan dengan menyiksa masih menjadi cara untuk mengungkap kasus.

Selanjutnya, catatan penting dalam hari penyiksaan kali ini adalah masifnya kasus kematian Tahanan di Rumah Tahanan Polisi (RTP), mirisnya kematian tahanan justru terjadi atas dorongan dan sepengetahuan aparat, kami mencatat ada 12 kasus kematian tahan yang terjadi dalam 2 tahun terakhir.

sebagai contoh adalah bagaimana sadisnya penyiksaan dan pelecehan seksual pada Hendra Syaputra, tragisnya korban di siksa oleh sesama tahanan atas perintah oknum polisi.

“dalam hal kematian Tahanan sudah sepatutnya Kepolisian segera melakukan evaluasi terhadap jajaran Dit Tahti, banyaknya kematian tahanan yang terjadi merupakan suatu bukti bahwa ada pembiaran atau bahkan dorongan oleh oknum Tahti yang berjaga” Tegasnya

Rahmat Menambahkan, bahwa kondisi penyiksaan di Sumut semakin kelam dengan terbongkarnya kasus kerangkeng Langkat, Kerangkeng manusia di Rumah eks Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin semakin menambah catatan kelam kasus penyiksaan periode ini.

Kasus itu telah membuka mata publik bahwa sesungguhnya praktek penyiksaan bukan hanya dilakukan oleh aparatur keamanan saja, tetapi justeru di prakarsai oleh seorang Bupati dirumahnya sendiri.

“kerangkeng manusia Langkat merupakan laboratorium penyiksaan, perbuatan merendahkan harkat martabat kemanusia, dan merenggut hak hidup seseorag pula, eksisinya kejahatan kemanusiaan yang dibalut motif pembinaan adalah suatu bukti bahwa afiliasi kekuasan telah melanggengkan praktek tersebut,.” Ungkapnya

Hasil temuan kontraS Sumut, Penghuni kerangkeng umumnya merupakan anak-anak muda yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, adapula kasus pidana penggelapan, kekerasan rumah tangga, kenakalan remaja dan lainnya.

Pada umunya, saat pertama kali masuk dalam Kerangkeng para penghuni mengalami berbagai jenis penyiksaan oleh pembina. Sejak kerangkeng manusia Langkat berdiri pada tahun 2012 diduga Ada 600- an orang yang menjadi korban penyiksaan dan perbudakan, dimana 6 diantara meninggal dunia.

Rahmat juga mengungkap, bahwa anak kerangkeng bukan hanya disiksa tetapi juga diperbudak di Pabrik Pengolahan kelapa Sawit dan Kebun Sawit milik TRP. Umumnya penghuni kerangkeng bekerja di pabrik di bagian Tripler (proses penggilingan bonggol sawit), penyortir sawit, maintenance (bagian mesin).

Sedangkan yang bekerja di Perkebunan sawit sebagai ada yang bertugas pemanen (Ndodos), membersihkan kebun (mengarit), menyemprot pupuk, dan menjadi supir pengambilan kelapa sawit.

“Mereka, bekerja dari jam 8 pagi s/d jam 6 sore setiap hari selama seminggu tanpa libur, mereka bekerja tanpa henti, bahkan dilarang sakit, dan semua pekerjaan itu tidak pernah dibayarkan gajinya sepeser pun.” Ungkap Rahmat

Dalam kasus itu terbukti pula adanya keterlibat aparatur TNI/Polri aktif yang terlibat secara langsung dalam proses penjemputan dan turut melakukan penyiksaan terhadap anak Kerangkeng.

“Ada penyelenggara Negara seperti Bupati, TNI/Polri yang terlibat penyiksaan dalam kasus kerangkeng manusia langkat, keterlibatan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum”, sejauh ini ada 5 TNI yang sudah diproses secara hukum. Namun keterlibatan kepolisian dalam kasus itu masih tidak jelas.” Tegasnya

Rahmat menyesalkan tidak tegasnya proses hukum dalam menindak aparat terutama kepolisian, sejauh KontraS mendampingi korban penyiksaan, pelaporan melalui mekanisme internal kepolisian seperti Propam selalu berjalan lambat, dan tidak transparan dalam prosesnya. Selain itu terkadang ada upaya ditubuh institusi untuk melindungi pelaku penyiksaan (impunitas).

Oleh sebabnya banyak kasus penyiksaan yang tidak diproses hukum, hal demikian menyebabkan adanya ruang signifikan untuk terjadinya praktek penyiksaan lainnya, lemahnya kerangka legal dan minimnya peran pengawasan lembaga eksternal untuk menyeret para pelaku masih menjadi musuh ketika melakukan advokasi perkara ini.

Ditengah situasi penyiksaan yang semakin mengkhawatirkan, kami berharap masyarakat mulai memberikan atensi atas peraktek seperti ini, kita ingin sampaikan bahwa sesungguhnya kejahatan macam papun memiliki hak yang sama dalam proses hukum, apakah itu begal, pencurian, narkotika, dan kasus pencabulan. Kejahatan macam apapun tidak boleh disiksa sebab itu adalah bagian pelanggaran HAM.

“kampanye Anti penyiksaan bukan berarti kita mendukung tindakan kejahatan, bukan sama sekali, ada proses hukum yang seharusnya dijalankan sesuai prosedur oleh penegak hukum, dari pengalaman kita penyiksaan dan penggunaan kekuatan justeru kerap menyasar pada orang yang salah”Tegas Rahmat

Sebagai penutup, Rahmat berharap dengan terbongkarnya kasus kerangkeng langkat dan fakta proses hukum kematian tahanan, dapat dijadikan momentum dalam hari anti penyiksaan kali ini, untuk dapat dijadika sebagai media konsolidasi bagi seluruh masyarakat sipil dalam mendukung korban penyiksaan.

“Kita harus bersama- sama menguatkan jaringan advokasi dalam mengentaskan kasus penyiksaan, melakukan pemantauan serta pengorganisasian untuk penguatan korban penyiksaan.” Tutupnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.