Diskusi media soal diskon rokok yang menurut INDEF harus dikaji ulang/handout
MEDANHEADLINES.COM – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) telah melakukan kajian terhadap kebijakan tarif cukai rokok dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156 Tahun 2018 mengenai Perubahan PMK 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Juga mengkaji Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang merupakan peraturan turunannya.
“Ditemukan celah yang membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal dan tiga temuan utama terkait kebijakan cukai rokok,” kata Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad di acara media diskusi “Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai” di Jakarta, Rabu (28/8).
Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan. PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Golongan tarif itu disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan
kecil.
“Temuan saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil. Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan,” kata Tauhid.
Kedua, hasil penelitian sampai April 2019, INDEF menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional terindikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah. Kalau perusahaan rokok yang membayar tarif cukai pada golongan 2B (rendah) memproduksi satu miliar batang dengan harga jual eceran (HJE) minimum Rp715 per batang, maka pendapatan kotornya adalah Rp715
miliar.
“Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” tanya dia.
Meski Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar. Namun dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta PMK sebagai turunannya tidak mengkategorisasikan skala usaha industri rokok, hanya mengacu pada jumlah produksi.
Ketiga, keberadaan diskon rokok yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan. Potongan harga terjadi, salah satunya akibat tingkat persaingan berkeadilan (level playing field) yang tidak setara.
Ketentuan diskon rokok diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37 tahun 2017 yang menyebutkan, harga transaksi pasar (HTP) merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen. Bisa 85 persen dari HJE yang tercantum di pita cukai.
Produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei kantor bea cukai. Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, diskon rokok juga turut membuat penerimaan negara tidak optimal. Dari 1.327 merek rokok yang diteliti pada April 2019, sebanyak 46,8 persen diskon terjadi pada SKM yang membayar tarif cukai golongan rendah.
“Diskon banyak dilakukan oleh pelaku dengan tingkat persaingan besar,” ucapnya.
Adanya potensi optimalisasi penerimaan negara dari pajak penghasilan rokok hingga Rp1,73 triliun jika kebijakan ini dikaji ulang pada tahun ini. Rinciannya, pajak penghasilan dari rokok yang dijual 85 persen di bawah HJE sebesar Rp467 miliar dan pajak penghasilan dari kebijakan HTP antara 85 persen sampai 100 persen terhadap HJE sebesar Rp1,26 triliun.
Berdasarkan temuan di atas, INDEF mengajukan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, melakukan langkah korektif dengan mengkaji kembali struktur tarif cukai. Kedua, menempatkan instrumen tegas pada produsen rokok yang memanfaatkan batasan produksi dengan cara penciptaan merek baru dan afiliasi produksi. Ketiga, menerapkan kebijakan HTP sama dengan HJE atau mempersempit wilayah survei dari saat ini sebanyak 40 kota. (Rha)