Penganiaya Wartawan Tak Kunjung Ditangkap, Julheri Sinaga : Jangan Membuat Kita Curiga !!

Praktisi Hukum Julheri Sinaga saat memberikan keterangan kepada awak media.

MEDANHEADLINES.COM– Kasus penganiayaan wartawan senior Posmetro Medan yang dilakukan Ationg dan 7 rekannya sudah berjalan 40 hari. Namun entah apa sebabnya sampai kini polisi belum juga menangkap bos judi di kawasan Marelan itu.

Sebelumnya, Kanit Reskrim Polsek Labuhan Iptu Bonar Pohan berjanji akan menangkap Ationg pada Senin (6/5) usai anggotanya mengurusi Pilpres. Akan tetapi saat wartawan menagih janji itu, Bonar mengatakan bahwa dirinya masih sibuk.

Ia mengaku mengalami kendala lantaran anggotanya masih sibuk di kantor Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

“Masih sibuk Pilpres ini. Juper pun masih ada yang di kantor PPK. Mungkin habis-habis tanggal 6 atau 7 ini juper kembali ke kantor (Mapolsek Medan Labuhan) dan melanjutkan kasus itu,” ucap Bonar yang dikonfirmasi wartawan Senin (6/5) siang.

Bonar Pohan selanjutnya mengatakan jika pihaknya telah memeriksa beberapa saksi dalam kasus penganiayaan dan pengeroyokan tersebut.

“Saksi sudah ada empat yang kita periksa,” jelasnya terkait perkembangan kasus itu.

Menanggapi kinerja Polsek Labuhan, praktisi hukum Julheri Sinaga melihat jika lambatnya penanganan kasus ini mengindikasikan Polsek Labuhan tidak bekerja secara professional.

Alasannya, ketika korban menanyakan perkembangan kasus, personel Polsek Medan Labuhan malah terkesan menyuruh korban yang mencari saksi dan bukti-bukti.

“Jelas polisinya tidak profesional. Di dalam KUHAP ditegaskan, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah tindakan penyelidik untuk mencari peristiwa apakah ada tindak pidana atau tidak. Jadi siapa yang menjadi penyelidik? Di KUHAP ditegaskan penyelidik adalah Polisi Republik Indonesia,” kata Julheri, belum lama ini.

“Jadi yang bertugas mencari apakah ada peristiwa pidana atau tidak adalah tugas polisi. Bukan malah menjadi tugasnya korban,” tambahnya.

Lebih lanjut Julheri mengatakan, penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti dan saksi. Dan penyidik itu adalah Polisi Republik Indonesia, bukannya saksi korban.

“Jadi kalau polisi sampai memberikan tugas itu malah ke saksi korban, wah… ini menunjukkan polisi tidak bekerja secara profesional, dia tidak tau apa yang menjadi kewajibannya. Lah, kalau umpamanya kita yang disuruh mencari bukti dan saksi-saksi, ya kasilah gajinya sama kita, biar kita yang cari. Jangan dia (polisi) mengambil gaji kalau dia tak mampu menjalankan fungsinya,” tambahnya.

Masih dikatakan Julheri, jika polisi tetap mengatakan hal seperti itu saat ditanyai perkembangan kasusnya sudah sampai di mana, berarti polisi buang badan. Ada aturan main yang harus dijalankan oleh penyidik untuk mengirimkan SP2HP, kalau tidak dijalankan fungsinya itu, berarti adukan saja penyidiknya.

Sambung Julheri, jika dilihat dari kasus yang dialami korban, bahwa terduga pelakunya jelas, lokasi usahanya jelas. Namun, polisi belum juga melakukan penahanan atau bahkan memeriksa terduga pelaku. Hal ini justru membuat masyarakat menjadi berprasangka buruk kepada kepolisian.

“Jangan-jangan polisi menjadi bagian dari masalah. Jangan-jangan mereka (polisi) mendapat setoran,” ketus Julheri.
Apalagi pasca-kejadian kepolisian tidak ada merazia lokasi yang santer dengan praktek perjudian itu.
Polisi mempunyai kewenangan memanggil terduga pelaku ke kantor polisi agar dimintai keterangannya. Bukan malah polisi yang mendatangi lokasi usaha terduga pelaku untuk melakukan pemeriksaan.

“Ini semakin membuat kita curiga. Kalau seperti itu, Polisi ini sudah memalukan saya rasa tindakannya. Seakan-akan polisi sudah tidak ada fungsinya lagi, kalau gak, bubarkan saja kantor polisi itu atau tutup saja kalau polisi memeriksa ke tempatnya terduga pelaku,” tegas Julheri (red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.