Sumut  

Menuju Hari Tani Nasional 2020, Sejumlah Elemen Masyarakat Serukan “Tolak Omnibus Law”

MEDANHEADLINES.COM, Medan – Wacana disahkannya Rancangan Undang-undang Omnibus Law di tengah pandemi covid-19 menjadi ancaman serius bagi Rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Karenanya, Sejumlah elemen dari berbagai organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (AKBAR) Sumatera Utara melakukan konfrensi pers untuk menyuarakan sikap menolak secara keseluruhan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja

Dalam kegiatan bertajuk “GAGALKAN OMNIBUS LAW #jegalsampaigagal” yang digelar di LBH Medan,ini adalah bagian dari agenda persiapan menuju Hari Tani Nasional 2020 yang jatuh pada tanggal 24 September mendatang
Menurut mereka, Rancangan Undang-Undang ini disinyalir akan meringkus pasal-pasal dari sekitar 79-an UU (Undang-Undang) yang mencakup 11 klaster seperti penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek Pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus.

Wacana akan disahkannya Omnibus Law akan mengancam dan merampas kedaulatan rakyat di sektor manapun. Di sektor agraria, akan menjadi kontra produktif dengan semangat UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) hingga membajak atau menghilangkan semangat UUPA.

Omnibus Law juga berpeluang mendisharmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut agraria yang sudah ada selama ini, mereduksi norma, nilai-nilai dan kaidah yang sudah ada sehingga menciptakan ketidak-pastian hukum, berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya serta mempermudah perampasan dan monopoli tanah, air, dan kekayaan alam lainnya untuk segelintir orang, investor, serta kelompok bisnis.

Di momentum Hari Tani Nasional 2020 yang juga sebagai peringatan hari lahirnya UUPA 1960, AKBAR Sumut menyampaikan bahwa jika Omnibus Law disahkan, menjadi pintu bagi hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria, untuk melanggengkan eksploitasi sekelompok orang terhadap sumber-sumber agraria yang akan memasifkan eksploitasi segelintir orang terhadap ratusan juta Rakyat Indonesia menuju perbudakan modern abad 21.

“Konferensi pers ini merupakan rangkaian dari persiapan HTN (Hari Tani Nasional) yang jatuh pada 24 September 2020, AKBAR Sumut dalam hal ini menyerukan kepada Pemerintah Sumatera Utara untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria, sekaligus melakukan kampanye penolakan terhadap Omnibus Law. Karena, Omnibus Law adalah pintu bagi adanya perampasan tanah yang akan berpotensi terjadi di masa depan. Sejatinya sejak pembahasan yang minim partisipasi rakyat, tertutup, nah, ternyata isinya pun mengarah pada penghancuran demokrasi kearah otoritarianisme.” ungkap Kepala Divisi Sumber Daya Alam – LBH Medan Alinafiah.

Menambahai Ali, Hawari Hasibuan yang merupakan Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria – Sumatera Utara mengatakan, jika Omnibus Law ini disahkan maka Rakyat akan semakin terpinggirkan, hak atas tanah rakyat akan hilang, dan Rakyat Indonesia akan dijadikan kuli.

” Momentum hari tani nasional 2020, menjadi unik, karena 60 tahun sudah UUPA 1960 ada, namun sampai saat ini, rakyat masih belum berdaulat atas sumber-sumber agraria, justru konflik agraria masih langgeng terjadi tanpa henti, perampasan-perampasan tanah masih rutin terdengar. Adanya niat segera disahkannya RUU Omnibus Law tidak bisa kita bayangkan bagaimana nanti konflik-konflik agraria terus terjadi dan berpotensi akan banyaknya angka konflik agraria di Indonesia terkhusus di Sumatera Utara. Sebab Omnibus Law juga memperpanjang ketimpangan agraria yang masih berlangsung hingga sekarang dengan memperpanjang masa waktu HGU (Hak Guna Usaha) menjadi 90 tahun.” Tambahnya.

Sedangkan, Manajer Kajian dan Advokasi WALHI Sumatera Utara Rianda Purba mengatakan, bahwa Omnibus Law adalah pintu bagi iklim investasi di banyak sektor, Omnibus Law akan mengobral aturan demi kemudahan investasi. Seperti dalam hal perizinan di sektor agraria, sumber daya alam, lingkungan hidup, penataan ruang, pertambangan Mineral dan Batubara, kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, keanekaragaman hayati, ketenagalistrikan, dan administrasi pemerintahan.

“Selama ini, konflik agraria, konflik tenurial di kawasan hutan, dan konflik sumber daya alam lainnya saja sudah berdampak pada petani, masyarakat adat, nelayan, tentu disahkannya RUU Omnibus Law akan memperparah kondisi tersebut. Di Omnibus Law beberapa aturan penting dalam penegakan lingkungan dan sumberdaya alam dan agraria dihapus total seperti amdal yang dihapuskan, izin lingkungan hidup dan kehutanan yang dipermudah, kemudaan pengadaan lahan dan penggunaan kawasan hutan, serta kemudahan proyek pemerintah. Dan kewenangannya hanya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut diperparah lagi bahwa semua perizinan tidak lagi melibatkan peran masyarakat secara partisipatif, termasuk dalam pemberian atau perpanjangan izin perkebunan, pertambangan, atau industri ekstraktif lain yang kewenangannya hanya ada di tangan pemerintah pusat.” Pungkasnya.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.