Ahli : Putusan DKPP 317/2020 Cacat Prosedural, Bisa Batal Demi Hukum

MEDANHEADLINES.COM, JAKARTA, MEDAN, – Departemen Ilmu Politik FISIP USU menggelar webminar seri perdana dengan tema “Keadilan Bagi Penyelenggara Pemilu, Mengkaji Ulang Putusan DKPP Nomor 317/2020” melalui aplikasi Google Meet.

Narasumber dalam diskusi daring ini adalah eksaminator putusan DKPP Nomor 317/2020 yang juga Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Pakar Hukum Tata Negara dari PUSaKO Unand Feri Amsari dan tim Advokasi Penegak Hukum Penyelenggara Pemilu Heru Widodo.

Dalam pemaparannya, Titi Anggraini berpandangan bahwa terdapat persoalan mendasar dari pengambilan keputusan oleh majelis DKPP dalam perkara nomor 317/2020 yakni gugatan Hendri Makaluasc, caleg Partai Gerindra dari dapil VI Kalimantan Barat. Majelis DKPP dalam pleno pengambilan keputusan hanya berjumlah 4 orang (dari batas kuorum 5 orang), sehingga perbuatan majelis DKPP yang tidak mengindahkan aturan mengenai kuorum tersebut tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan bagaimana pengaturan pasal 3 undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang prinsip penyelenggaraan pemilu.

Titi juga menambahkan, dalam hal subtansi kasus ini, yang menjadi objek perkara ada tafsiran atas putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa di Dapil VI Kalbar. Semua pihak menurutnya boleh berbeda dalam menafsirkan putusan MK, namun berdasarkan pasal 7 undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang memiliki otoritas menerjemahkan, mengoperasionalisasi dan mengeksekusi amar putusan MK adalah Komisi Pemilihan Umum.

Lebih jauh, ahli tata negara Feri Amsari menyoroti sanksi maksimal yang diterima oleh mantan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik. KPU dalam desain kelembagaannya berkarakter kolektif kolegial, yang bermakna seluruh tindakan kelembagaan disepakati dan diputuskan bersama atas nama lembaga

“Maka dalam undang-undang Pemilu KPU tidak ada memutuskan keputusan berdasarkan personal atau divisi masing-masing, oleh karena itu semua tindakan KPU harus dimaknai sebagai tindakan kolektif kolegial, dimana keputusan disepakati dan ditetapkan bersama-sama. Sebagai catatan, menilai seluruh tindakan kebijakan KPU tidak bisa diparsialkan atau dipersonifikasi terhadap individu tertentu,” ujar Feri.

Lebih lanjut, Feri mengkritisi putusan DKPP nomor 317/2020 yang justru memberikan sanksi paling berat kepada Evi Novida Ginting, padahal semua keputusan berada di tangan pleno KPU. “Anehnya dalam putusan mengatakan meskipun KPU bersifat kolektif kolegial, namun DKPP mengangkap meskipun kolektif kolegial tetap harus ada yang paling bersalah. Ini berarti DKPP menafsirkan sendiri cara bekerja KPU. Jika kita bedah tidak ada dasar hukum DKPP menafsirkanhal tersebut. Pada dasarnya konsep kolektif kolegial itu menghilangkan dominasi personal dalam mengambilan kebijakan,” tegas Feri.

Mengenai tafsir atas putusan MK, menurutnya DKPP tidak memiliki kewenangan untuk memaknai lebih putusan MK.
“Apa pun yang diputuskan MK, walupun DKPP tidak menyukai atau merasa tidak lengkap, sebagai sebuah lembaga DKPP tidak bisa menafsirkan sesuai dengan apa yang dianggap paling benar oleh DKPP,” tambahnya.

Feri juga turut menyoroti dari segi prosedur proses putusan 317/2020 ini. Menurutnya permasalahan siding pleno DKPP yang tidak kuorum secara jelas menunjukkan putusan ini cacat procedural. Cacat prosedural di dalam ilmu hukum administrasi negara dianggap perbuatan itu tidak pernah ada atau batal demi hukum..
Di dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menyebutkan orang atau lembaga tidak boleh memutuskan kebijakan apabila tidak memenuhi prosedur, salah satunya soal kuorum. Sidang pleno DKPP yang tidak diikuti utuh oleh minimal 5 majelis DKPP menurutnya menghilangkan kewenangan DKPP untuk bersidang.

“Kalau sudah kuorum, barulah punya wewenang. Kalau tidak memenuhi kuorum maka merupakan bentuk kesewenang-wenangan,” ujar Feri.

Sementara, pengacara mantan anggota KPU Evi Novida Ginting yang tergabung dalam tim advokasi penegak kehormatan penyelenggara pemilu, Heru Widodo, menerangkan saat ini pihaknya tengah melakukan upaya hukum di pengadilan tinggi tata usaha negara, karena ada banyak sekali kecacatan dalam putusan DKPP Nomor 317/2020.

Heru Widodo mengatakan bahwa pertengahan April lalu Evi Novida sudah membentuk tim advokasi menggugat putusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ia menyebut bahwa gugatan ini adalah sebagai upaya untuk mencari keadilan mengingat Evi Novida sudah berkontribusi selama 17 tahun di bidang kepemiluan sejak menjadi komisioner KPU mulai dari tingkat kota, provinsi hingga nasional. “Di penghujung karirnya, beliau (Evi Novida) diberhentikan secara tidak fair,” pungkas Heru.

Diskusi ini dihadiri lebih dari 100 peserta dari berbagai unsur, diantaranya Ketua KPU RI Arief Budiman, mantan komisioner KPU Hadar Gumay, hingga anggota KPU dari berbagai daerah seperti, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Lembata, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Maluku Utara, Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, hingga Kabupaten Bengkalis. (raj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.