Febri penulis buku berjudul “300 Hari di Bumi Syam: Catatan Perjalanan Mantan Pengikut ISIS”. Buku itu didiskusikan olehnya di Aula Gedung IASTH, Kampung Universitas Indonesia, Salemba, Selasa (11/2/2020). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
MEDANHEADLINES.COM-Sulitnya kondisi perekonomian keluarga pada tahun 2015, membuat keluarga Ferbri Ramdani hendak Pergi ke Suriah dan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah. ISIS yang dipimpin Khalifah Abu Bakr Al Baghdadi, dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemelaratan.
Namun Febri berdebat cukup sengit dengan keluarganya, soal rencana kepindahan mereka ke Suriah, yang oleh ayahnya selalu disebut sebagai negeri Syam.
Apalagi, ISIS menawarkan beragam fasilitas hidup yang menggiurkan: pendidikan gratis, kesehatan gratis, makan berkecukupan.
Namun, Febri kukuh tak mau pergi. Baginya, lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang.
Akhirnya, Febri berpisah jalan. Sebanyak 26 anggota keluarganya, termasuk ayah dan ibu, berangkat ke Suriah. Sementara dirinya tetap di Indonesia, sebatang kara.
Febri berusaha bertahan hidup di Indonesia meski sendirian. Ia mengatur siasat, agar tercukupkan semua kebutuhan hidup, Febri berhemat. Soal tempat tinggal, ia memutuskan tinggal di indekos.
Ditinggal pergi oleh keluarga tempatnya tumbuh kembang sejak lahir, membuat Febri depresi. Ia lantas berupaya menggali informasi mengenai ISIS.
Febri berselancar di dunia maya, mengunjungi laman-laman daring pro-ISIS yang di dalamnya terdapat banyak informasi menggiurkan.
Lelaki itu terkesima, karena ISIS menawarkan pendidikan gratis, kesehatan gratis, rumah layak bebas kredit, dan sebagainya.
Satu janji yang menyentuh pikiran Febri adalah, sang khalifah membebaskan setiap pengikutnya untuk menentukan profesi atau pendidikan yang hendak dilakoni di Suriah—tak harus berperang.
Semuanya tampak sesuai dengan syariat Islam yang dipahami oleh Febri. Karenanya, tanggal 26 September 2016, Febri angkat kaki dari Tanah Air, menyusul keluarganya.
“Awalnya saya tak setuju, ragu, apa benar ISIS di Suriah menjalakna syariat Islam. Semua keluargaku pergi karena ekonomi kami lagi di bawah. Mereka meninggalkan saya,” kata Febri.
Febri kekinian menuliskan perjalanan hidupnya dan diterbitkan menjadi buku berjudul “300 Hari di Bumi Syam: Catatan Perjalanan Mantan Pengikut ISIS”. Buku itu didiskusikan olehnya di Aula Gedung IASTH, Kampung Universitas Indonesia, Salemba, Selasa (11/2/2020).
Menembus barikade
TAK mudah menembus masuk Suriah ketika perang antara ISIS dan pasukan koalisi internasional tengah berkecamuk.
Dua bulan sebelum tahun 2016 berakhir, Febri dibantu salah satu kerabat pergi ke Suriah.
Kerabatnya itu pula, yang setahun sebelumnya, membantu keluarga Febri menyeberang ke Suriah, ikut ISIS.
Febri harus menempuh jalan memutar. Lebih dulu, kerabatnya memberangkatkan Febri ke Istanbul, Turki.
Selama di Istanbul, Febri menggunakan visa turis. Lima hari dia di kota penuh kenangan era peralihan tersebut, sebelum berangkat ke perbatasan Turki – Suriah.
Kerabatnya meminta Febri menunggu di salah satu titik kota Istanbul yang akan memberangkatnnya ke perbatasan memakai bus.
“Busnya cukup besar, berkapasitas 50 orang. Kami dibawa ke perbatasan lewat jalan setapak,” kata Febri.
Sesampainya di perbatasan, Febri menyerahkan KTP dan Paspor Indonesia kepada ISIS. Febri dan lainnya lantas disuruh lari, masuk ke wilayah Suriah.
Salah kelompok
FEBRI yang lugu tak mengenal sekat-sekat organisasi yang bertikai di Suriah, meski sama-sama berpredikat teroris.
Akibatnya, Febri justru ditangkap dan menjadi tahanan. Ia mengira memasuki kawasan ISIS, ternyata kamp milik Jabhat Al Nusra yang berafiliasi dengan Al Qaeda.
“Saya ditangkap selama sebulan, saya tak tahu. Kami bernegosiasi, dan akhirnya dibebaskan setelah mengaku sebagai relawan kemanusiaan.”
Hancurnya impian
TIDAK ada impian indah Febri yang tersisa saat benar-benar masuk ke wilayah ISIS di Suriah.
Tak ada pendidikan gratis. Kesehatan cuma-cuma, ternyata hanya bualan. Di Suriah, hanya ada kota yang sudah hancur lebur akibat perang.
“Saat saya masuk sudah berbeda, sudah ada bendera-benderanya. Tapi kok beda sama yang dipropagandakan. Kok hancur semua.”
Satu-satunya impian yang tersisa bagi Febri adalah bertemu dengan keluarga besarnya. Sudah setahun tak bertemu, maka rindu harus terbayar lunas.
Di Suriah, Febri bertemu salah satu WNI yang juga menjadi pengikut ISIS. WNI itu mengakui mengetahui keluarga Febri dan akhirnya mempertemukan mereka.
“Akhirnya saya bertemu keluarga dan alhamdulillah ibu masih hidup. Memang ada beberapa yang sudah meninggal.”
Pertemuan mereka berlangsung singkat. Febri hanya diberikan waktu dua hari untuk temu kangen bersama keluarga yang sudah tak lagi lengkap.
Selanjutnya, Febri diharuskan mengikuti wajib militer oleh ISIS. Tak ada pendidikan gratis, apalagi kebebasan memilih profesi seperti dijanjikan sang khalifah.
“Aku baru tahu, keluargaku marah saat melihatku di Suriah. Mereka berharap aku tak menyusul mereka. Sebab, mereka juga ingin kembali ke Indonesia.”
Segala kebusukan ISIS akhirnya diketahui Febri, bukan dari siapa-siapa, tapi justru dari keluarganya sendiri yang dulu meninggalkannya demi ke Suriah.
“Mereka bilang kenapa kamu ke sini. Kami sudah mau pulang ke Indonesia. Kami enggak dapat apa yang dijanjikan ISIS, kami justru diancam. Mereka jelaskan keburukan ISIS. Saya kaget.”
Febri dan keluarganya berembuk, mencari jalan untuk kembali ke Indonesia. Ia lantas mendapat pertolongan dari penduduk lokal agar bisa keluar dari wilayah ISIS.
Penduduk lokal meminta Febri lebih dulu menyerahkan diri ke Pasukan Demokratik Suriah. Sesudahnya, ia dan keluarga dipenjara selama 2 bulan agar bisa mendapat perlindungan KBRI.
“Usai 2 bulan dipenjara, kami dipertemukan dengan KBRI. Kami dijemput di perbatasan Irak – Suriah, di sana ada Kemenlu dan Dubes RI. Kami dibawa untuk proses pemulangan.”
Artikel ini sudah terbit di Suara.com
(Pace)