MEDANHEADLINES.COM – Jika sesuatu kehilangan proporsi kebenarannya, atau melampaui ketepatan ukurannya, maka hilanglah pula keseimbangannya, bahkan bisa menjadi terpecah. Nah, di sanalah tindak irasionalitas manusia tampak nyata. Sekali ke-idealisan itu hilang, kau tak akan menemukan jalan untuk mendapatkannya lagi.
Bukan mudah (untuk mendengungkan sebuah ke idealisan), karena kau adalah makhluk abstrak yang secara material memiliki kontur yang dapat dilukis dengan garis. Namun, ada alam yang tak tergambar di sana, hampir seperti semesta, mungkin dalam celah yang lebih sempit―atau sama besarnya.
Ya, karena kau adalah manusia. Kau tahu sendiri kepesimisanku akan hal itu. Bahwa, manusia yang diberi label sebagai makhluk sosial sesungguhnya adalah sebuah kutukan.
Kau akan membutuhkan orang lain, sementara kau tak akan dapat memiliki sepenuhnya. Kau tak akan bisa hidup tanpa orang lain. Namun, itu hanya membentuk sebuah kekurangan yang sangat signifikan, hingga ketika keinginan dan kebutuhanmu terhadap orang lain tersebut tidak terpenuhi, maka kau bisa berakhir mati.
Hidup adalah serba kekurangan, itulah kenapa kita selalu meminta―tidak selalu pada orang lain juga kepada Tuhan―itulah juga kenapa manusia selalu diminta untuk selalu tolong menolong.
Dunia yang utopis. Karena memang, dunia ini adalah hukuman untuk Adam dan Hawa. Lalu apa? Ah, aku bahkan tidak bisa mendetailkan pertanyaanku.
Sepanjang ini aku belum dapat setuju untuk menyebut seorang manusia adalah makhluk yang objektif. Karena ia adalah makhluk yang penuh dengan subjektifitas dalam kesungguhan.
Manusia dapat mencoba, tapi itu tak pernah benar-benar terjadi dengan seluruh aktivitas sarafnya menyatu pada sebuah ke objektifitasan yang berusaha ia ciptakan. Objektifitas memang haruslah memiliki sebuah standarisasi, dan standarisasi itu diciptakan oleh manusia yang subjektif.
Ya, meskipun yang paling tinggi idealnya adalah memakai prinsip mayoritas dan minoritas. Hukum relativitas sendiri, meskipun dianggap kurang dari hal intelektual, tapi sama sekali tak bisa dihindarkan nyatanya. Karena, ketika berbicara tentang kebenaran sendiri, tak jarang itu menjadi penyelesaian buntu; juga dapat menjadi sebuah senjata apology luar biasa.
Tidak ada kebenaran maupun kesalahan yang mutlak di sana. Namun coba saja salahkan hal itu dengan ke objektifitasan, juga dengan tidak melupakan, ia adalah manusia yang utuh berserta seluruh bagian dirinya yang lengkap―tak terkecuali dengan semesta yang tidak terlihat darinya.
Sekali lagi, manusia adalah makhluk yang tak dapat memiliki maupun dimiliki sepenuhnya. Meskipun seorang manusia dipaksa untuk mengatakan “IYA”, namun dalam jiwa dan hatinya manusia tetap memiliki kebebasannya untuk memberontak mengatakan “TIDAK”. Lalu, siapa yang dapat mencegat itu?
Jika tabir persepsi manusia disingkirkan, segalanya akan tampak apa adanya, tidak terbatas. Namun karena manusia terselubung dirinya sendiri, maka segalanya hanya dapat ia pandang lewat celah sempit perspektifnya. (William Blake)
Dan aku yang juga sebagai manusia, dipaksa harus memahami, tak dapat berontak oleh keadaan. Hanya mencoba memperluas celah sempit itu dan entah mungkin atau tidak.
Penulis : Riri Putri, Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam