MEDANHEADLINES – (BAGIAN 2)
Konsensus Sebagai Alat Pemersatu
Apakah ada alat untuk membangun suatu kesatuan? Tentu saja ada banyak alat untuk mencapai satu kesatuan, mulai cara-cara yang sifatnya koersif maupun cara-cara yang demokratis. Satu yang juga populer untuk dilakukan adalah melalui konsensus[1] (perjanjian). Konsensus adalah satu penyelesaian yang lekat dengan pandangan fungsional. Emile Durkheim maupun Parson sama-sama setuju mendorong konsensus sebagai suatu upaya moral dalam melestarikan masyarakat. Tindakan moral masyarakat menurut Durkheim harus berdasarkan aturan untuk memenuhi kepentingan masyarakat diatas kepentingan pelakunya. Durkheim menyimpulkan bahwa eksistensi masyarakat itu tergantung pada konsensus moral. Konsensus juga menurut Auguste Comte adalah kondisi yang diperlukan dalam mewujudkan keteraturan sosial.
Namun lebih dari itu Durkheim menegaskan bahwa konsensus berdiri diatas kesadaran kolektif. Tanpa kesadaran kolektif konsensus hanyalah sia-sia. Kesadaran kolektif adalah sumber solidaritas yang mendorong masyarakat mau bekerjasama. Mereka yang sadar dapat dilihat dari kesatuan pandangan bahwa siapapun yang melanggar aturan adalah penjahat dan wajib dihukum berat. Setiap keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan kolektif tentu saja ibarat penyakit yang menggerogoti individu.
Jadi meski konsensus sudah kita lakukan, belum tentu juga akan berbuah manis. Sebab semua konsensus tergantung pada kesadaran bersama si pelaku konsensus. Dengan demikian kesadaran inilah yang mestinya pertamasekali hadir dan menguat sebagai pondasi, barulah kemudian konsensus kita letakkan di atasnya.
Sejak pra-merdeka, para pejuang dan pemuda sadar betul akan potensi konflik manusia Nusantara yang memiliki perbedaan agama, suku, ras dan daerah. Setiap saat perbedaan itu bisa saja dimanfaatkan sebagai alat adu domba oleh Belanda. Karena itu tidak ada pilihan lain, sehingga tokoh-tokoh pemuda pejuang kemerdekaan mengikatkan diri mereka melalui konsensus. Adalah suatu yang rasional jika perbedaan fisik dan kultural yang menjadi ancaman tersebut mesti segera diatasi pada saat itu.
Kebulatan tekad para pemuda untuk bersatu itulah yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda 1928. Untuk pertama sekali dibawah Sumpah tersebut para pemuda dari berbagai latar daerah, agama, bahasa dan golongan berhasil membuat ikrar kesatuan dalam bahasa, bangsa dan tanah air yang satu yaitu Indonesia. Inti sari sumpah pemuda adalah sebagai janji setia dari semua pemuda Indonesia lintas suku, untuk berdaulat baik sebagai suatu bangsa, suatu negara maupun bahasa. Pemuda Indonesia menolak penjajahan (dominasi) dalam bentuk apapun. Pemuda Indonesia menolak penghisapan manusia atas manusia lainnya. Pemuda Indonesia kemudian merdeka tahun 1945 diatas Sumpah Persatuan tersebut. Sumpah Pemuda benar-benar menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia saat itu.
Sekalipun Sumpah Pemuda cukup penting dalam menyatukan perbedaan, menyatukan bahasa dan juga menyatukan pandangan perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Penjajah, dengan cita-cita Indonesia lahir menjadi bangsa merdeka sejajar dengan bangsa lainnya di dunia, untuk menjadi bangsa tentu saja masih dibutuhkan, namun menjadi bangsa tidaklah cukup dengan bersatu untuk merdeka semata. Menjadi bangsa membutuhkan cita dasar, pandangan hidup dan ideologi yang menjadi ruh bagi suatu bangsa.
Mengutip pendapat pemimpin besar lainnya, Bung Karno mengatakan bahwa persatuan nasional hanya dapat dipelihara kekal dan abadi jikalau persatuan nasional itu di dasarkan atas satu dasar yang lebih luas daripada bangsa. Lebih luas dari apa yang dinamakan Indonesia. Dasar yang kekal abadi itulah yang kita sebut Pancasila, sebagai suatu geloof, sebagai suatu arah pikiran, sebagai suatu kepercayaan. Bukan kepercayaan agama, tetapi kepercayaan daripada suatu bangsa[2].
Artinya, para pemuda pejuang saat itu tidak hanya membangun konsensus melalui Sumpah Pemuda namun saat menjelang kemerdekaan, mereka sekali lagi membangun konsensus yang lebih fundamental yaitu melalui Pancasila. Pancasila dengan demikian dapatlah dikatakan sebagai konsensus yang paling krusial dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Pancasila adalah senjata bagi bangsa Indonesia. Sulit sekali menurut Bung Karno mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke jika tanpa di dasarkan atas Pancasila.
Pengalaman Amerika Serikat sendiri tidak jauh berbeda, terdiri dari 309 suku (bangsa) yang memiliki wilayah dan sistem hukum maisng-masing baik secara penuh maupun terbatas. Masing-masing suku (bangsa) asli dipersilahkan menyusun struktur pemerintahan dan hukum sendiri, mengutip pajak sendiri, dan semua dilindungi hukum federal dalam menerapkan agama dan budaya mereka. Bahkan tahun 1978 Amerika mengeluarkan UU Kebebasan Beragama Suku Indian untuk mengimani, dan melaksanakan agama-agama tradisional mesi meskipun pada akhirnya dicabut oleh MA.
Artinya, kita memahami bahwa setiap suku punya sistem nilai/hukum/sosial sendiri yang bersumber dari kebudayaan mereka. Namun sistem sosial/hukum setiap suku dan golongan dalam suatu bangsa mestilah dinaungi oleh sistem/kultur yang lebih kuat/eksis sehingga mereka harus menerima sistem legal yang lebih kuat tersebut. Jelas sistem hukum/sosial yang lemah akan disubordinasikan pada yang kuat. Kondisi ini adalah fakta alamiah sehingga akan terjadi sepanjang hubungan antar manusia maupun kelompok. Intinya tidak ada dua sistem hukum/sosial yang bisa berlaku bersamaan dalam suatu bangsa.
Karena tidak mungkin ada dua sistem berlaku, maka bagi kita di Indonesia sesuai dengan konsensus bersama, sistem kehidupan Pancasila adalah satu-satunya sistem sosial/hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu semua sub-sistem sosial/hukum lainnya seperti agama, suku, ras telah menyepakati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Artinya ketika konsensus disepakati, sistem nilai Pancasila itu sebetulnya adalah pancaran dari nilai-nilai luhur yang ada dalam setiap sub-sistem yang ada di Indonesia. Dengan demikian, Pancasila menjadi milik bersama dan menjadi identitas tunggal bagi bangsa Indonesia. Karena itu setiap suku bangsa (agama) yang ada di Indonesia sejak 1945 sudah mestinya belajar dan berproses menjadi Indonesia, atau “mengindonesia” atau menjadi Pancasilais atau menjadi insan Pancasila.
Pasca Konsensus & Munculnya Berbagai Masalah
Namun meletakkan dan menyepakati konsensus ternyata, tidak semudah dalam mewujudkannya. Sejak merdeka Indonesia langsung memasuki suasana pergumulan antar partai politik dalam memperebutkan kekuasaan. Kesadaran bersatu dan bersaudara yang ditengarai menjadi solusi bagi bangsa, akhirnya tidak pernah benar-benar disemai dan tumbuh subur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masing-masing kelompok malah semakin menunjukkan kebenarannya masing-masing. Meski kerap ujian-ujian perpecahan bangsa berhasil dilewati (munculnya berbagai pemeberontakan) namun upaya memperkuat persatuan tidak juga dilaukan dengan sadar.
Setelah Orde Lama yang penuh dengan jatuh-bangunnya kabinet hingga berakhir dengan meledaknya peristiwa G30SPKI, Indonesia masuk pada era Orde Baru militeristik yang justru menekan perbedaan dengan paksaan. Persatuan (demikian juga dengan nilai Pancasila yang lain) hanyalah sekedar simbolik yang tumbuh dipaksa diatas media rejim militeristik yang kekeringan nilai-nilai luhur Pancasila. Hingga Orde Baru tumbang yang kemudian digantikan oleh Orde Reformasi hingga saat ini, rejim-rejim kuasa diatasnya tidak juga mampu menumbuhkan semangat persatuan apalagi persaudaraan dikalangan anak-anak bangsa yang beragam latar. Jelas, jangankan merawat, menanamkannya saja ternyata kita tidak pernah lakukan.
Sejak merdeka kita sebetulnya belum pernah membangun ke-Indonesiaan kita secara serius. Artinya, rentang usia 71 tahun kemerdekaan yang kita peroleh lebih banyak kita sibukkan dengan mengatasi konflik ideologi pada awal-awal pemerintahan Bung Karno, kemudian masuk rezim orde baru Soeharto yang militeristik dan Pasac orde baru hingga saat ini, kita masih berkutat pada tekanan politik global baik ideologi, politik dan ekonomi yang memaksa Indonesia justru menanggalkan nilai-nilai luhurnya sendiri.
Mungkin penting kita melongok 16 tahun yang silam tepatnya ketika kita memasuki era-desentralisasi yang di helat melalui keluarnya undang-undang otonomi daerah (otda) 1999. Sejak rejim otda digulirkan maka identitas kelompok (kesamaan daerah, agama, suku, warna kulit, bahasa) menyeruak ditengah-tengah masyarakat. Semuanya tidak lain bermuara pada euforia kebebasan yang dihembuskan oleh otonomi daerah. Sebab otonomi daerah ternyata disenangi dan disambut oleh elite daerah karena dua hal saja yaitu adanya Pilkada sehingga semua elite bisa bersaing menjadi kepala daerah, dan adanya peluang membentuk daerah otonomi baru (DOB).
Pilkada berbagai daerah (juga Pilkada DKI) sejak rejim otda mestinya dapat dilihat dalam suasana Politik Lokal yang telah kebablasan. Disebut kebablasan, karena politik selalu dihelat hanya untuk tujuan politik belaka. Politik untuk politik. Politik tak berhubungan dengan pembangunan budaya. Politik sengaja dijauhkan dari nilai-nilai luhur dan nilai-nilai budaya yang mestinya menjadi sumber nilai dalam konteks politik. Akibatnya tidak ada pendidikan politik yang bersumber dari nilai-budaya, sehingga tidak ada politik yang berbudaya. Justru yang terjadi elite politik selalu melakukan pembodohan, pembiusan politik melalui pencitraan, politik uang dan pemanfaatan birokrasi untuk mendulang suara rakyat. Pilkada yang penuh dengan “kegelapan” justru dinikmati oleh para elite, namun sebaliknya ditangisi rakyat.
Hasil penelitian Vedi Hadiz jelas membuktikan bahwa otda tidak menghasilkan politik yang beradab seperti yang dinginkan. Otonomi daerah justru merangsang merajalelanya politik uang dan juga eksploitasi terhadap simbol-simbol identitas etnis, agama serta kekerasan bahkan premanisme. Bahkan sentimen-sentimen identitas itu kerap meletup dengan cara-cara kekerasan. Jadi otda semakin memperkuat identitas kelompok yang berpengaruh pada politik identitas lokal.
Selama rejim otonomi daerah maka selama itu pula politik identitas digunakan dengan memanfaatkan identitas-identitas kelompok yang ada. Tidak kita pungkiri Perguruan Tinggi setidaknya melalui oknumnya kerap terlibat dalam mengoperasikan teori dan konsep identitas dalam upaya memenangkan suatu calon atau setidaknya memberi saran dan pendapat. Hampir semua teori pemenangan para konsultan selalu menempatkan politik identitas pada analisis teratas dalam rangka membangun strategi dan program calon.
Apa yang terjadi? Ya jelas, pemilih didekati berdasarkan alasan-alasan kesamaan identitas. Afiliasi politik identitas menjadi peluang dalam menghubungkan calon dengan pemilih. Bahkan para tokoh adat, agama, tokoh masyarakat justru didandani dan difasilitasi sesuai dengan identitasnya sebagai upaya mendulang suara. Akibatnya identitas kelompok bukan malah hilang tetapi justru semakin kuat.
Para elite politik daerah justru memperkuat sentimen identitas tersebut sampai ke level yang tertinggi. Penggunaan ketokohan pemuka agama dan adat, simbol-simbol etnis dan agama, dan idiom-idiom agama dan adat memang disengaja untuk mendapatkan dukungan suara. Identitas justru diperkenalkan (diintrodusir), ditanamkan, dan disadarkan dalam kesadaran pemilih agar mereka memilih sesuai dengan identitas mereka masing-masing.
Sehingga sejak rezim otda/pilkada, orientasi politik daerah dan kehidupan sosial di daerah dilingkupi oleh identitas kelompok. Padahal ada dampak lanjutannya yang sangat negatif dan buruk yang luput dari perhatian.
Suatu kelompok yang kalah dalam Pilkada ataupun yang menang lantas memaknainya sebagai kemenangan identitas. Kalau menang, itu disyukuri sebagai kemenangan identitas. Sementara kalau kalah, itu dimaknai sebagai kekalahan identitas. Kalau calon Islam kalah ya itu artinya agama Islam kalah dan artinya Islam sedang tertindas. Kalau calon suku kalah dengan pendatang ya itu artinya suku asli sedang ditindas oleh suku pendatang. Kalau orang Jakarta menang ya itu artinya sudah terjadi penjajahan oleh Jakarta terhadap daerah. Dan seterusnya…
Bagi yang menang akan semakin percaya akan kekuataan politik identitas. Sementara bagi yang kalah akan mengutuki yang menang sebab kekalahan tidak lagi dimaknai sebagai kekalahan politik yang adil melainkan kekalahan identitas. Jangan katakan Pilkada menciptakan ketertiban dan kedamaian. Pilkada justru menghasilkan dendam secara identitas. Kesakitannya tak mudah hilang bahkan akan terbawa terus sebab menjadi aib yang tak bisa diterima.
Jadi, desentralisasi, demokrasi, dan hilangnya nilai Pancasila menjadi fungsi-fungsi yang bekerja dalam politik identitas kita. Artinya, kita sedang menuai dari apa yang sudah kita mulai atau kita tanam sebelumnya. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang mengantarkan Jokowi/Ahok sebagai Gubernur & Wagub DKI, dapat kita baca pada tataran politik identitas yang sedang bekerja di DKI. Meski kemenangan Jokowi-Ahok adalah hal yang biasa dan lumrah pada peristiwa Pilkada namun tidak demikian dalam identitas. Kekalahan akan menimbulkan bekas dan luka yang mendalam sebab politik pilkada telah “bersenyawa aktif” dengan identitas kelompok yang kental.
Identitas kelompok tentu saja tidak serta-merta muncul pada saat aksi ABI-123 yang lalu, ataupun terekspresikan pada dinding medsos saat ini. Akan tetapi pra-kondisinya sudah dimulai sejak masa era-reformasi di helat atau bahkan lebih jauh sebelumnya. Kita sebetulnya sedang menikmati buah dari pohon yang kita tanam pada masa lalu.
Modernisasi, Sains, Teknologi & Proyek Pemusnahan Peradaban
Jika konflik ini adalah buah, lantas tanaman apakah yang kita telah tanam? Apakah kita sadar bahwa kita telah menanam bibit pohon yang hanya menghasilkan kesengsaraan bagi manusia di kolong langit ini? Mengapa tak ada juga solusi yang dapat mengeluarkan kita dari kutukan buah yang kita makan ini?
Bagi Fukuyama masalah ummat manusia hari ini sudah diprediksi sejak ratusan tahun silam[3]. Tatanan sosial yang berdasar kekuatan bersama, persaudaraan, penyatuan dengan alam dan spontan pada akhirnya telah tergerus dan mengalami kemorosotan. Semua itu menurut Edmund Burke bersumber dari proyek pencerahan (rasionalitas) Barat yang telah sukses menggantikan tradisi dan agama (tatanan moral) dengan akal. Proyek pencerahan itulah yang telah mendorong manusia kepinggir jurang malapetaka. Penerus Burke semakin tegas menyebut bahwa humanisme sekular yang kita kenal saat ini merupakan persoalan utama zaman sekarang yang bibitnya sudah kita tanam sejak ratusan tahun sebelumnya.
Modernisasi jelas adalah tanaman yang ada dalam benak manusia yang tumbuh dan kembang pada era industri (revolusi industri), era perubahan sosial-politik, dan era informasi. Modernisasi telah merubah kultur masyarakat yang bersifat gemeinschaft (komunitas) menjadi gesellschaft (masyarakat). Jika sebelumnya masyarakat hidup sebagaimana kehidupan masyarakat desa/petani/agraris yang berdasarkan jaring kekerabatan, kontak langsung, norma-norma yang tak tertulis dan informal, kesaling percayaan, bersentuhan dengan alam maka kini berubah menjadi hubungan sosial yang formal dan impersonal, senang dengan alam buatan, tidak saling bergantung (atomik) dan kurang memiliki tanggungjawab sosial dan moral.
Hubungan yang sebelumnya muncul karena ‘status’ (sebagai ayah terhadap anak, sebagai penggembala terhadap dombanya, sebagai tuan terhadap pengikutnya) yang menunjukkan saling tanggungjawab diantara keduanya, kini berganti dengan hubungan kontraktual dan imbalan. Tanggung jawab cukuplah sebatas sebatas kontrak dan kepentingan tidak lebih. Eric Hoffer menyebut kini banyak bangsa telah berubah dari yang sebelumnya komunal (Asia) menjadi Individual (Revitc & Thernstorm).
Karl Popper menyebut telah terjadi perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat Terbuka. Kita telah berubah dari kondisi masyarakat tribal (suku), masyarakat magis, atau masyarakat kolektivis mirip seperti organisme yang terbentuk secara spontan dan menyatu dengan alam dengan sejumlah aturan dan pantangan. Anggotanya disatukan oleh ikatan ikatan semi biologis kekeluargaan, hidup bersama, berjuang bersama, bahaya yang sama, kesenangan bersama, dan penderitaan yang sama. Beban dan kegelisahan ini merupakan konsekuensi runtuhnya masyarakat tertutup.
Hari ini kita menjadi masyarakat terbuka yaitu masyarakat yang terbuka akan terjadinya konfrontasi antara individu dengan keputusan personal. Kita dengan senang hati memutus ikatan-ikatan kekeluargaan. Kita hari ini berubah menjadi manusia indvidualis dan mencampakkan kultur sosial yang organis. Namun tanpa disadari, akibat hilangnya karakter organiknya lambat laun suatu masyarakat terbuka menjadi masyarakat abstrak. Kita berubah menjadi suatu masyarakat yang secara praktis tidak lagi membutuhkan lingkungan keluarga seperti sebelumnya, semua kerjaan lebih senang dikerjakan secara individual. Masyarakat berubah menjadi atomik, sendiri dan bebas bergerak kemanapun.
Adalah Descartes Abad-17 melalui Discourse on Method of Raightly Conducting the Reason and Seeking the Truth in the Science, telah menggali dan mengubur keyakinan, pengetahuan dunia lama, tradisional, arkhais dan primitif. Nilai tradisi yang terkubur kemudian digantikan dengan nilai-nilai sains yang melahirkan peradaban modernitas dan rasionalitas. Descartes teriak, Cogito ergo sum! Kearifan tradisi yang lahir dan berkembang di jagad alam semesta melalui kekariban hati, jiwa, rasa dan estetika alam, fakta, keagungan dan kemuliaan selama ratusan tahun akhirnya sirna ‘dibunuh’ rasio. Descartes berhasil memisahkan subjek-berfikir (res cogitans) dan objek yang dipikirkan (res extensa).
Manusia yang sebelumnya dengan bermodal iman/keyakinan tunduk kepada Tuhan (kekuatan ghaib) dan juga tunduk pada alam (wajah Tuhan/supra natural) yang melahirkan tradisi totem, taboo, animisme, dinamisme dan agama maka melalui metodologi eklektik Cartesian dikubur dan digantikan dengan metode rasional yang menghasilkan sains dan teknologi. Bahkan selama 500 tahun sejak modernitas pertama sekali dibangkitkan (ditiupkan ruh) sekarang modernitas benar-benar telah hidup dalam kehidupan manusia dan bahkan telah dipuja. Jika sebelumnya manusia ber-Tuhankan Tuhan Semesta Alam, kemudian bergeser ber-Tuhankan Alam Semesta ciptaan Tuhan, kemudian bergeser ber-Tuhankan rasio/nalarnya manusia, maka hari ini manusia tanpa sadar telah menuhankan ciptaannya sendiri (sains, teknologi, sistem, komoditi).
Sayang Descartes telah mati sehingga ia tak menyaksikan betapa mengerikannya dampak yang ditimbulkan oleh rasio manusia dalam kehidupan di jagad raya ini. Manusia kini hidup dengan mengikuti kehendak sains-teknologi, terperangkap oleh sistem yang dibuatnya sendiri, terasing dari dirinya sendiri, mengeksplorasi semua pikiran jahatnya, memperbudak manusia lainnya, menciptakan mesin perang maha dahsyat untuk membunuh dan mengenyahkan musuh-musuhnya, mengeksresikan semua kenikmatan duniawinya (harta-tahta-seks) secara vulgar hingga menghancurkan alam semesta tanpa ampun dan kenal lelah.
Pertanyaannya, apakah Descartes dan pengusung/peniup ruh sains-modernitas mesti dipersalahkan? Apakah kita harus kembali kepada pelukan zaman primitf sebelumnya yang arkais dan lokal-primitif?
Adalah Houston Smith (filasafat dengan metode perrenialisme) menjawab dengan menunjukkan semua itu tidak perlu, tidak perlu ada yang dipersalahkan dan juga tidak perlu juga kembali ke zaman primitif masa silam. Meskipun kita menangis berdarah-darah namun semua itu tidak akan menyumbangkan rekonstruksi kearifan tradisi apa-pun. Smith dan juga pemikir Barat lainnya (John F O’Grady, John Naisbit, Patricia Aburdune, Harvey Cox, Frithjof Schuon, Don Cupit, dll) jelas-jelas menolak penyekatan spritualitas dalam satu formalisasi agama (organnized religion) sebagai jalan keluar dari masalah yang menimpa manusia modern saat ini.
Smith dkk justru menawarkan penumbuhan kembali nilai-nilai kearifan (shopia perrenis) dan mengkritisi sains-modernitas yang telah mencampakkan ‘fitrah agung manusia’ yang sejatinya berpegang teguh pada ‘dimensi agung’. Anselem von Freibech juga menganjurkan untuk kembali kepada fitrah manusia sebagai penyempurnaan identitas manusia.
Pada pengembaraan ummat manusia di belantara sains-modernitas hari ini manusia sampai pada situasi kelimpungan, kebingungan dan keterjajahan oleh monster ciptaannya sendiri. Kegemilangan dan kemewahan sains justru hanyalah sebagai mesin pembunuh jiwa maupun raga manusia mengingat manusia tidak lagi mengindahkan lini-spritual yang lahir secara perennis yang bersumber dari ‘perjanjian-primordial’ antara Tuhan dan Manusia (Sayyed H Nashr).
Kini kita dihadapkan oleh pertentangan secara diametral antara sains-modernitas yang menghasilkan kerusakan pada alam dan manusia disatu sisi dan para penganut agama disisi yang lain yang justru saling berebut kalim kebenaran dan hanya mengandalkan iman bahkan intuisi semata yang jauh dari rasio. Intiny manusia terbelah dalam dua kelompok besar yaitu kelompok rasio anti agama, dan kelompok agama anti rasio. Kaum agama bahkan melancarkan perang antar agama yang juga mengerikan bahkan perang antar sekte/aliran dalam satu agama yang mendorong agama-agama menjadi kelompok yang eksklusive dan terpecah-pecah kecil-kecil yang semakin rumit dan jauh sebagai sebuah alternatif pembangun peradaban.
Bagi Smith dan para rasionalis lainnya, praktek-praktek kaum agama saat ini yang eksklusive, irrasional, mau menang/benar sendiri, dan bertempur sampai mati menghancurkan semua ‘musuh kafir’ yang bukan golongannya jelas menjadikan agama bukan sebagai pilihan dan jalan solusi bagi ummat manusia mengatasi masalah saat ini. Smith dan juga para rasionalis lain percaya bahwa Tuhan tidak menyekatkan diri pada struktur agama/religi apa-pun. Smith sama seperti para pengusung postmodernisme yakin bahwa setiap individu memiliki pengalaman religi/ketuhanan yang spesifik tanpa perlu disekat dalam organisasi keagamaan apapun.
Smith percaya setiap orang bisa memiliki pengalaman, mengenal dan memahami bahasa Tuhan yang Maha Agung, berada dalam satu gelombang keilahiaan dan menemukan fitrah dirinya yang agung sebagaimana pengalaman religius satori atau kensho dalam tradisi Ch’an/Zen, pengalaman Budha, pengalaman Saul, pengalaman St Augustine/St Franchis, St Ignatius, Jacob Bohme dan lainnya. Smith juga sangat menghargai khazanah etnik India, suku-suku pedalaman, peradaban para rahib yang senantiasa meletakkan tengkorak manusia di atas mejanya agar selalu mengingat kematian.
Artinya, setiap agama-agama yang sangat berbeda-beda saat ini mestinya dapat diuji dari praktek-praktek kehidupannya yang agung yang dapat menjadi jalan kebenaran bagi semua umat manusia. Jika semua agama adalah bermakna sebagai hasil dari hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Agung mestinya semakin banyak agama akan mencetak manusia yang agung semakin banyak. Logikanya semakin banyak agama yang berdimensi ketuhanan yang mengajarkan bahasa kebaikan dan kebenaran, maka masing-masing ummatnya akan semakin berlomba-lomba berbuat kebajikan bagi semua manusia bukan berlomba-lomba berbuat kejahatan dan menyerang agama lainnya.
Intinya semakin banyak agama mestinya kehidupan manusia semakin penuh dengan damai dan beroleh kemakmuran. Sebab semakin banyak orang yang setiap hari berlomba-lomba berbuat kebaikan terhadap sesamanya. Tidak hanya jiwa manusia akan penuh damai, “jiwa” alam semesta pun akan kembali bersinar sebab tak ada lagi kerusakan yang selalu dibuat manusia kepada “mereka”. Alam akan bahagia sebab manusia menjadikan “mereka” hidup layaknya keluarga tidak seperti selama ini hanya melihat mereka sebagai benda mati yang bebas untuk dieksploitasi.
Smith juga Frithjof Schuon, mengatakan bahwa dunia manusia rasional-modernis saat ini telah mengikis habis pengetahuan manusia akan alam semesta dan pencipta alam semesta itu sendiri. Manusia modern jelas adalah manusia-manusia yang sangat sekuler dan manusia-manusia yang menentangnya/ menolaknya pun sama sekulernya. Namun setelah banyak orang mencari alternatif lain dengan menggali tradisi mistik dari arus utama kebudayaan/agama yang diimani manusia, justru kita menemukan ketidak relevan-an dengan zaman ini (David Mayburi-Lewis).
Ironinya meski kita tidak atau belum menemukan solusi atau jalan keluar dari perbudakan rasio-modernitas dan tak juga menemukan jawaban dari agama-agama yang ada hari ini, namun kita tetap berharap jawaban itu datangnya dari Tuhan Pemilik Alam Semesta. Demikianlah kritik filsafat perrenial terhadap zaman rasio-modern yang dinakhkodai pikiran Descartes yang dengan dingin dan kejam menghabisi shopia perennis karena dituduh sebagai biang kejumudan peradaban manusia.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa yang ada di dunia pun tak bisa mengelak, lambat laun bangsa Indonesia-pun berubah menjadi ke Barat-baratan membangun kultur rasionya menanggalkan nilai luhurnya. Semua itu terjadi karena Indonesia berada dalam suatu cengkeraman sistem sistem global yang dominan. Sistem kehidupan yang bersumber dari liberalisme-kapitalisme global yang berasal dari rasio manusia.
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bahwa sistem kapitalisme yang dominan telah mensubordinasikan/ menaklukkan sistem yang lemah. Jadi mau tak mau sistem sosial/hukum kita mengikuti sistem sosial/hukum kapitalisme yang dominan betapapun kita tidak menginginkannya. Mungkin saja ada pihak-pihak di dalam negeri yang tidak senang dan berlawanan atau bahkan mati-matian menentangnya. Namun, acap kali semua penentang ideologi dominan berakhir sia-sia. Sudah juga alami, jika dominasi kapitalisme global tidak hanya dominan menguasai persenjataan dan militer yang menaklukkan dengan cara koersif, akan tetapi juga menguasai sistem sosial/hukum/agama manusia manapun melalui ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistem global yang menaklukkan manusia secara halus (soft power).
Secara militer hanya Rusia dan Chinalah kekuatan yang dapat menyaingi blok Barat/Kapitalisme. Namun secara ideologi ataupun kepercayaan belum ada tradisi yang mampu menandinginya.
Bagi Indonesia juga negara miskin lain, tanpa kekuatan militer dan tanpa punya ideologi/kepercayaan/geloof hidup di dunia ini hanyalah suatu “kepasrahan”. Orang atau negara miskin jelas tak punya banyak pilihan. Terlebih-lebih secara mental, negara-negara miskin selalu diliputi suasana mental sebagai budak-upah, budak-kuli atau budak-jajahan yang hidup tanpa kewibawaan, kemandirian dan kehormatan. Tanpa kehormatan suatu bangsa sama saja dengan krisis (krisis keindonesiaan). Tanpa geloof kita memang bukan apa-apa.
Kini, sekalipun ada perlawanan terhadap kapitalisme global, namun semuanya dalam bentuk perlawanan-perlawanan yang sifatnya partikular, sebagian-sebagian dan kelompok-kelompok. Kelompok yang merasa terzholimi oleh kapitalisme global (tidak mendapat keadilan, tidak mendapat sumber daya alam, tidak bahagia), kemudian muncul dengan kekuatan kelompoknya masing-masing. Contoh hal ini dapat kita lihat dalam hal menguatnya gerakan-gerakan keagamaan, gerakan etnis, ataupun gerakan kawasan/lintas negara. Tidak ketinggalan pada kelompok-kelompok yang lebih kecil juga muncul apakah secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi. Namun, perlawanan kelompok jauh dari dari membuahkan hasil. Sebaliknya justru semakin menunjukkan superioritas kapitalisme yang dominan dan piawai dalam mengadu domba antar kelompok. Tak dapat dipungkiri jika Kapitalisme Global memang sedang menguasai desa global.
Dunia yang sudah terdominasi dan terhegemoni oleh kapitalisme global ini digambarkan Mc Luhan adalah dunia yang sudah menyatu dan disatukan oleh teknologi namun tanpa ikatan seolah seperti global village (desa global). Kita kini hidup dalam desa global tanpa terikat atas tradisi, dan etika moral yang mapan sebagaimana desa purba. Kita adalah warga desa massif, desa global tanpa kohesi sosial dan ideologi. Ziqmunt Bauman (seperti juga dikatakan Martin Buber) mengatakan, meski kita hidup dalam suatu desa global yang sama, namun kita tidak berdiri sebagai sesama (neighbour) maupun sebagai orang asing (alien) melainkan sebagai stranger. Mereka berada satu tempat tetapi tidak dikenal. Mereka berada pada satu rasa namun ada civic indifference.
Di desa global tersebut kapitalisme tidak lagi menciptakan media untuk massa, namun kini menciptakan massa melalui media. Pemodal membentuk massa berdasarkan barang-barang/komoditi yang dia konsumsi (mode of consumption). Sehingga terjadinya penyeragaman rasa warga desa baik dalam barang, fiskal maupun ilmu. Warga desa global seolah sudah ‘dikutuk’ untuk menjadi satu rasa dan terus lapar. Akhirnya, warga desa lambat laiun menjadi massa konsumsi (ikatan konsumsi). Ikatan konsumsi melahirkan ikatan sosial baru atau identitas baru. Bukan manusia yang kini menggoda manusia tetapi barang/komoditi yang kini menggoda (seduce), dia diciptakan oleh manusia tapi kini dia hidup dan menguasai hasrat (desire) manusia.
Kini pemodal (kapitalisme) semakin maju lagi untuk menciptakan barang/komoditi yang mampu menggoda (seduce) konsumen yaitu melalui promosi. Kebutuhan massa dan sistem fungsi-fungsi dibentuk lewat promosi. Massa yang lahir lewat promosi dipastikan akan selalu ketagihan dan tidak puas. Massa = hasrat, inilah pengalaman perasaan/estetik. Metode promosi telah merubah barang fisik menjadi virtual (virtual object). Barang/komoditi kemudian disimulasikan lewat promosi. Akhirnya masyarakat mengalaminya secara virtual dan simulatif. Orang tidak lagi tertarik pada barang yang dia dibutuhkan semata tetapi pada daya promosi barang yang menggoda dan merangsang. Realiats komunitas, realitas masyarakat kini mulai hilang ditelan media dan hasrat konsumsi yang tinggi. Kini sangat dominan realitas massa yang massif dan konsumtif sekaligus naif.
Hari ini kita sudah tiba pada zaman akhir, suatu zaman dimana kita hidup dan bekerja hanya memikirkan hal-hal yang khusus/terspesialisasi (Adam Smith), sangat yakin dengan kemampuan individual/egois (Hobbes), percaya diri bahwa manusia mampu menundukkan alam untuk mencapai kebahagiaannya (pencerahan), masyarakat bebas (Locke), masyarakat yang teralienasi dari masyarakat dan dirinya sendiri (Marx), masyarakat era reproduksi mekanis (Benjamin), masyarakat satu dimensi (Herbert Marcuse), masyarakat pada era konsumsi dan kepalsuan/simulasi (Baudrillard), masyarakat yang kehilangan kemurnian masa lalunya (Carlyle), dan masyarakat tanpa Tuhan, terasing, sepi, sendiri… (Nietzsche).
Kengerian kehidupan manusia di akhir zaman tentu saja tak terhindari. Sadar atau tidak kita ada dalam kapal yang sama. (Bersambung ke bagian -3)
Penulis : Dadang Dermawan
Dosen FISIP USU
*catatan kaki